Dilema Angkutan Ojek Di Era New Normal
Selasa, 02 Juni 2020, 06:23 WIB
BisnisNews.id -- Sebetulnya saat kenormalan baru itu, physicall distancing atau jaga jarak tetap harus ditegakkan. Jika kemudian ojek daring (online) boleh beroperasi, meski membawa helm sendiri tetaplah berisiko terkena penularan covid-19. Jadi bagi calon penumpang ojek daring perlu berhati-hati demi kesehatan.
Layanan “OJEK” diperkirakan sudah mulai ada pada awal tahun 1970an di beberapa daerah di Jawa Tengah dan di DKI Jakarta (Adi Nugroho, Boombastis.com, 2015). Pada masa itu ojek merupakan salah satu moda transportasi alternatif yang memenuhi sudut-sudut kota.
Di Indonesia, seiring dengan peningkatan mobilitas masyarakat yang dibarengi membaiknya perekonomian tergambar dari semakin tingginya tingkat pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kemudian berdampak pada kemacetan lalu lintas khususnya di kota-kota besar.
Kondisi kemacetan lalu lintas dari tahun ke tahun semakin buruk dan layanan angkutan umum yang tidak memadai semakin menyuburkan perkembangan layanan ojek. Tahapan berikutnya dengan makin pesatnya perkembangan teknologi informasi dalam hal mana ojek bertransformasi dan tumbuh semakin tidak terbendung.
Bahkan segala aturan bidang lalu lintas dan angkutan jalan terkesan tak mampu menjangkaunya. Ojek kini bukan hanya menjemput/ mengantar penumpang akan tetapi sudah pula melayani jasa pengiriman barang termasuk melayani pemesanan pembelian makanan/ minuman.
Pertanyaannya adalah “apakah keberadaan ojek akan dibiarkan dipertahankan terus…?”, waktu masa yang akan mengubahnya.
Sebagaimana tahu dan kita alami bersama, terhitung sejak awal Maret 2020 hingga saat ini, seluruh masyarakat di Indonesia tak terlepas dari pandemi/ wabah Corona Virus Deseas-19 (COVID-19) yang diketahui muncul pertama kali di Kota Wuhan, Tiongkok, pada akhir Desember 2019 yang lalu.
Diketahui juga dampak dari wabah COVID-19 tersebut telah membuat semua orang menjadi cemas, dan sebagai upaya meredam tingkat penularan penyakit maka kemudian Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan protokol kesehatan yang antara lain berisi berkegiatan di rumah, cuci tangan dengan sabun, penggunaan masker, jaga jarak sosial, dan beberapa hal lainnya lagi.
Terkait dengan protokol kesehatan tersebut, kemudian Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian diterapkan di beberapa daerah. Terkait dengan ketentuan pembatasan jarak, maka yang sangat tidak mudah dalam penerapannya adalah pada angkutan umum.
Hal tersebut menjadi dilema, ketentuan pengisian faktor muat maksimum 50 persen berarti menuntut pengawasan yang ketat. Untuk moda angkutan umum kereta api, bus, hingga taksi, masih sangat memungkinkan untuk mengangkut penumpang.
Tidak demikian dengan ojek, yang walaupun secara hukum tidak diakui sebagai jenis angkutan umum, menjadi tertutup kesempatannya untuk mengangkut penumpang karena dinilai tidak memungkinkan menerapkan jaga jarak social antara pengemudi dan penumpangnya.
*Felix Iryantomo, Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (INSTRAN) & Djoko Setijowarno, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata/ hel