Konflik Rusia - Ukraina: Pro Kontra Sikap Indonesia Setuju Resolusi Majelis Umum PBB
Jumat, 04 Maret 2022, 20:15 WIB
Oleh: Yayat Hidayat
Konflik Rusia dan Ukraina terus berlanjut. Solusi damai juga terus ditempuh baik yang dilakukan berbagai negara lewat Resolusi Majelis Umum PBB maupun melalui meja perundingan kedua negara yang berseteru itu.
Sebanyak 141 negara termasuk Indonesia menyetujui resolusi PBB yang meminta Rusia menghentikan serangannya ke Ukraina. Namun, sikap Indonesia ini menimbulkan pro dan kontra.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, misalnya, menyesalkan keputusan Indonesia. Dia menilai keputusan itu seolah Indonesia berada dalam posisi sebagai hakim terkait serangan Rusia.
Secara tak langsung, Indonesia menentukan tindakan invasi Rusia sebagai perbuatan yang salah. Padahal dua negara yang berseteru pasti memiliki justifikasi berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional. Satu hal yang pasti Rusia tidak akan menyatakan dirinya melakukan perang agresi atau serangan terhadap integritas wilayah negara lain.
Berbeda dengan Hikmahanto, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Viada Hafid menilai sikap Indonesia sudah tepat terkait invasi Rusia ke Ukraina. Sikap Indonesia dianggap konsisten
dengan semangat RI yang dicetuskan wapres RI Moh Hatta pada 1949, bahwa politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif.
Sikap Indonesia menyetujui resolusi PBB, kata Meutya, sesuai dengan UUD 1945 yang menegaskan soal ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sebelumnya, dalam layar, terlihat Indonesia menjadi salah satu dari 141 negara yang menyetujui resolusi ini. Dari Asia Tenggara ada pula Malaysia, Singapura, Timor Leste, Singapura, hingga Thailand yang juga menyetujui resolusi ini. Afghanistan yang kini dipimpin Taliban juga menyetujui resolusi untuk menghentikan invasi Rusia ke Ukraina.
Negara-negara yang tidak setuju dengan resolusi ini adalah Rusia, Belarusia, Korea Utara, Suriah, dan Eritrea. Sedangkan negara-negara yang abstain antara lain China, Bolivia, Iran, Irak, India, Pakistan, Vietnam, hingga Afrika Selatan.
Voting dilakukan dalam Sidang Majelis Umum PBB Sesi Khusus Darurat di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Rabu (2/3) waktu setempat. Sidang dipimpin oleh Presiden Majelis Umum PBB Abdulla Shahid.
Sementara dilansir AFP, Kamis (3/3/2022), resolusi itu juga mengutuk kebijakan Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengerahkan pasukan nuklirnya dalam posisi siaga.
Di sisi lain, Rusia dan Ukraina telah selesai menggelar perundingan kedua di tengah perang yang masih berlangsung. Bagaimana hasilnya?
Pada Jumat (4/3/2022), sebagaimana diwartakan AFP, Ukraina dan Rusia sepakat membuat koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi warga sipil. Pihak Ukraina mengatakan perundingan putaran kedua dengan Rusia telah berakhir tanpa hasil apa pun yang dibutuhkan Ukraina.
"Yang ada hanya keputusan tentang organisasi koridor kemanusiaan," kata penasihat presiden Ukraina Mykhailo Podolyak di Twitter.
Pembicaraan antara pejabat Rusia dan Ukraina berlangsung di perbatasan Polandia-Belarus pada hari kedelapan invasi Rusia ke Ukraina. Negosiator Rusia menegaskan kedua pihak sepakat untuk menciptakan jalan keluar bagi warga sipil.
"Pertanyaan utama yang kami putuskan hari ini adalah masalah menyelamatkan orang, warga sipil, yang berada di zona bentrokan militer," kata perunding utama Rusia dan mantan menteri kebudayaan Vladimir Medinsky.
AFP juga melansir, perundingan kedua antara pejabat Rusia dan Ukraina ini awalnya disebut untuk membahas gencatan senjata. Penasihat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Mikhailo Podolyak, memposting foto perwakilan Rusia dan Ukraina di Twitter.
Dia mengatakan 'gencatan senjata segera' serta 'koridor kemanusiaan' untuk warga sipil ada dalam agenda. Sementara dilansir dari CNN, pembicaraan antara delegasi Rusia dan Ukraina dimulai di lokasi yang dirahasiakan di perbatasan Ukraina. Ukraina memasuki ruang konferensi di mana delegasi Rusia duduk. Kedua tim berjabat tangan sebelum duduk untuk memulai pembicaraan mereka.
Apakah konflik Rusia dan Ukraina akan berakhir damai? Banyak kalangan berpendapat bahwa Rusia tidak akan mengentikan serangannya ke Ukraina sebelum tuntutannya terpenuhi. Sebab, invasi Rusia bukan untuk pendudukan negara melainkan agar negara pecahan Uni Soviet itu mengubah sikap politiknya.
Sebab-sebab Rusia Menginvasi Ukraina:
1. Rusia telah lama menolak kedekatan Ukraina dengan institusi-institusi Eropa, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), serta Uni Eropa.
2. Putin mengklaim Ukraina adalah boneka Barat dan tidak pernah menjadi sebuah negara yang layak.
3. Putin mendesak Barat memberi jaminan bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO, militer Ukraina dilucuti, dan Ukraina menjadi negara yang netral.
4. Ukraina punya jalinan sosial dan budaya yang erat dengan Rusia. Bahasa Rusia banyak digunakan di Ukraina. Namun, sejak Rusia menginvasi pada 2014, hubungan kedua negara menjadi renggang.
5. Pada 2014, wilayah Donetsk dan Luhansk dikuasai kubu separatis pro-Rusia.
6. Presiden Rusia Vladimir Putin belum lama ini mengeluarkan dekrit berisi pengakuan terhadap Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk sebagai negara merdeka. Konsekuensinya pasukan Rusia bisa ditempatkan secara resmi di sana dan bisa membangun pangkalan militer.
7. Rusia menuduh Ukraina melakukan "genosida" di bagian timur serta memberikan lebih dari 700.000 paspor di kawasan Donetsk dan Luhansk.
Dukungan Indonesia terhadap Resolusi Majelis Umum PBB supaya Rusia menghentikan serangannya, bukan berarti RI memihak kepada Ukraina.
Keputusan Indonesia tersebut merupakan wujud dukungan terhadap prinsip hukum internasional dan Piagam PBB, terutama penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah.***
*)Penulis adalah wartawan Senior Tinggal di Kota Depok