Melarang Mudik Dengan Cara Cerdas

Akademisi FT Unika Soegijopranoto Semarang Djoko Setijowarno (foto: ist)
BisnisNews.id -- Kebjakan larangan mudik Lebaran 2021 mendatang masih pro dan kontra. Kebijakan yang disampaikan langsung oleh Menko PMK Muhadjir Effendi itu memicu keresahan di masyarakat dan mungkin akan menjadi masalah di kemudian hari.
Beberapa daerah termasuk ormas tertentu sudah mengusulkan agar larangan mudik ditinjau kembali atau diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan masalah di masyarakat. Apalagi, masalah yang dihadapi masyarakat khususnya perantau di Indonesia baik di Jabodetabek atau daerah lain di Indonesia sangat kompleks.Â
Pemerintah Indonesia perlu melarang mudik dengan cara cerdas. Caranya dengan frasa "larangan mudik" diganti dengan pengaturan dan pengendalian mudik atau perjalanan," kata akademisi FT Unika Soegijopranoto Semarang Djoko Setijowarno kepada BisnisNews.id, Kamis (8/4/2021).
Sebelumya, Satgas Covid-19 sudah mengambil kebijakan dan menetapkan Indonesia menjadi beberapa zonasi. Di Indonesia dapat dilakukan dengan sistem zonasi, tanpa memandang masa mudik Lebaran atau tidak.Â
"Langkah (larangan mudik)ini bisa dilakukan selama masa pandemi covid-19 belum mereda pada liburan panjang termsuk massa Lebaran mendatang," kata Djoko lagi.Â
Dikatakan, Satgas Covid-19 sudah membagi menjadi zona merah, kuning, dan hijau. Sementara, mobilitas orang dari asal hingga tujuan diatur sesuai zona mulai dari awal hingga tujuan.Â
Di zona tujuan ada kewajiban test kesehatan dan karantina dengan membayar sendiri. Sedang tempat karantina dapat di hotel atau penginapan yang disediakan warga.Â
Potensi Masalah di Lapangan
Larangan mudk Lebaran 2021 secara ketat memang bagus dari sisi pencegahan penyebaran dan penuaran Covid-19. Tapi, bagi sebagian masalah juga akan menjadi masalah tersendiri.
"Bagi pekerja konstruksi dengan penghasilan mingguan di manapun berada, akan mengalami masa jeda sekitar dua minggu tidak bekerja di masa Lebaran," terang Djoko.Â
Menurut Kabid Advokasi dan Kemasyaran MTI ini, mereka (pekerja konstruksi)Â tidak dapat pulang kampung halaman dan tidak ada jaminan hidup selama dua minggu berada di lokasi pekerjaan. "Lantas, siapa yang bakal menanggung ongkos hidup selama dua minggu tersebut," tanya Djoko lagi.Â
Sementara, penghasilan mingguan hanya cukup menutup kebutuhan hidup dirinya di perantauan dan dikirim ke keluarganya di kampung halaman selama seminggu.
Potensi erupa juga akan terjadi pada awak angkutan umum, khususnya AKAP. Jika mudik dilarang, maka pemngusaha PO bus dan awak kendaraan akan kehilangan potensi pendapatan. Dalam kasus ini harus difikirkan dengan matang, karena dampak sosialnya akan sangat luas di masyarakat.
"Mereka tak bisa bekerja dan tak akan memperoleh pendapatan. Terus siapa yang akan menanggung hidup mereka dan keluarganya. Sementara, masa angkutan Lebaran baik saat mudik atau balik menjadi "masa panen" atau peakseason bagi mereka," papar Djoko.
Belajar dari Singapura
Akademisi senior ini mengusulkan, ada baiknya Indonesia belajar dengan negara tetangga Singapura. Singapura yang tidak melarang masuk siapapun ke negaranya
"Asal, mau dikaratina selama 14 hari dan jika hasil tes rapid ketahuan positif, disuruh masuk rumah sakit (RS) dengan biaya sendiri," sebut Djoko.
Aturan ini membuat siapapun yang akan ke Singapura harus berfikir ulang dengan matang jika akan bepergian ke Singapura di masa pandemi ini.Â
Djoko menambahkan, Indonesia perlu membuat kebijakan yang elegan dan tetap memberikan peluang bagi mereka yang terpaksa harus mudik. Yaitu melarang dengan cara cerdas.
Caranya dengan frasa "larangan mudik" diganti dengan pengaturan dan pengendalian. Kebijakan Pemerinah Singapura cukup sukses menjaga dan mengendalikan penyebaran Covid-19 di negeri itu," tegas dia.(helmi)