PBB dan Membangun Kesetaraan Bagi Kaum Marginal di Indonesia
Minggu, 17 Oktober 2021, 20:01 WIB
BisnisNews.id -- Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNAIDS terus mengambil peran, guna memastikan tidak ada kelompok yang ditinggalkan. Melalui program bersama Multi-Partner Trust Fund (MPTF), UNAIDS Indonesia berupaya menjembatani kesenjangan bagi orang-orang dengan HIV dan populasi kunci, agar dapat terlindungi dari efek ekonomi sosial akibat pandemi.
PBB terus melakukan upaya perbaikan dan kesetaraan khususnya pada kelompok marginal dan tertinggal. Mereka itu seperti pengidap HIV/Aids, difable atau orang berkebutuhan khusus serta perempuan dan anak-anak. Pelan tapi pasti perjuangan itu terus dilakukan, sesuai taget PBB mrnghilangkan ketimpangan dan perlakuan tak adil pada tahun 2030 mendatang.
Sejak pertama kali ditemukan sekitar tahun 1980-an di New York dan Los Angeles – HIV masih menjadi persoalan global. Di Indonesia, diestimasikan ada sekitar 543.000 orang dengan HIV yang secara epidemi terkonsentrasi di empat kelompok populasi kunci. Yaitu laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, transgender perempuan, pekerja seks, dan pengguna narkotika suntik.
Menurut catatan UNAIDS, program gabungan PBB untuk penanggulangan epidemi AIDS, ada empat kelompok populasi kunci ini termasuk golongan yang sangat terdiskriminasi di Indonesia.
Human Rights and Gender Advisor UNAIDS Indonesia, Yasmin Purba mencontohkan, dalam konteks pendidikan, misalnya, seorang transgender perempuan seringkali mengalami bullying bahkan sejak di sekolah dasar (SD). Dampaknya sangat negatif, dan tidak sedikit mereka menjadi putus sekolah dan mulailah masa-masa suram dalam hidup mereka.
“Situasi ini mendemotivasi mereka untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Begitu juga dengan populasi kunci lainnya. Bentuk-bentuk diskriminasi itu membuat pendidikan menjadi tidak aksesibel bagi mereka," kata Yasmin saat menjadi pembicara dalam briefing pers PBB di Indonesia, "Upaya Pemulihan Covid-19 Melalui Respon Sosial dan Ekonomi", di Jakarta kemarin.
Ketika tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, implikasinya kelompok ini akan sulit mengakses pekerjaan layak. “Akibatnya, mereka banyak sekali yang bekerja di sektor-sektor non formal, atau bekerja di sektor precarious job. Misalkan pekerja seks atau pengamen di jalan sehingga tidak ada kepastian kerja, tidak ada kepastian income,” sesal Yasmin.
Ketika pandemi covid-19 datang, berbagai pembatasan aktivitas dan sosial membuat hidup kelompok yang termajinalkan semakin berat. Mereka banyak menjadi korban PHK, sulit mencari atau diterima bekerja secara layak dan dampaknya akan menurunkan tingkat kesejahteraan bahkan jatuh miskin dan sulit untuk bangkit lagi.
“(Dampak pandemi) betul-betul terasa sekali. Kalau kita melihat dari beberapa penemuan, misalnya dari Jaringan Indonesia Positif yang melakukan survei terhadap lebih dari 1.000 orang HIV, menunjukkan ada sekitar 46% responden di awal pandemi 2020 yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan, 44% kehilangan pendapatan, dan 19% tidak mampu membayar sewa tempat tinggalnya,” papar Yasmin.
Terdengar ironis, ketika Pemerintah Indonesia menganjurkan warganya untuk “Stay at Home”, namun ada kelompok masyarakat yang justru tidak sanggup mempertahankan rumah mereka. Tidak sedikit rumah pun terpaksa dijual untuk menyambung hidup. Bahkan, mereka yang hidup dikontrakan tak sedikit yang terusir karena tak mampu lagi membayar sewa rumahnya.
“Artinya, marjinalisasi ini membuat mereka harus keluar dari rumah, satu-satunya tempat mereka berlindung, atau juga satu-satunya tempat yang diharapkan bisa menjadi tempat mereka mengisolasi diri agar tidak menyebarkan covid-19,” ucapnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengungkapkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini memiliki penduduk usia kerja sebanyak 205,26 juta. Dari jumlah penduduk usia kerja tersebut sebesar 6,26% adalah pengangguran terbuka.
Sedang Kepala BPS Provinsi DKI Jakarta Buyung Airlangga mengatakan, jumlah pengangguran mulai meroket sejak Agustus 2020 karena pandemi Covid-19. Saat itu, ada 511 ribu orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah ini dipastikan bertambah karena gelombang PHK masih terus terjadi sampai semester I tahun 2021 ini.
Kolabrasi UNAIS, ILO dan UNDP
Menurut Yasmin Puba, pihaknya (UNAIDS) bekerjasama dengan ILO dan UNDP, telah mengidentifikasi individu-individu yang terdampak pandemi untuk mengikuti pelatihan skill membangun kewirausahaan. "Intinya memberikan bekal kepada mereka untuk dapat bangkit dari dampak covid-19 ini,” tukas Yasmin.
Tapi UNAIDS juga menyadari, akar masalah dari peliknya situasi yang dihadapi kelompok marjinal, adalah tindakan diskriminatif dari orang-orang di sekitar mereka. Mereka sering menerima perlakukan tidak adil, sehingga tak bisa hidup dan bekerja yang layak seperti warga negara lainnnya.
UNAIDS bekerja sama dengan Yayasan Kusuma Buana, mengembangkan platform kebijakan online agar orang-orang dapat lebih memahami apa itu inklusivisme, khususnya terhadap pengidap HIV dan populasi kunci.
“Kami mendorong advokasi kebijakan yang bisa memastikan, bisa mendorong inklusivisme di tempat kerja, untuk memberikan lingkungan yang aman bagi orang HIV dan populasi kunci,” ujarnya.
Perlindungan itu bisa diberikan, salah satunya melalui pembaharuan hukum. “Berbagai legislasi nasional yang kami lihat, sayangnya belum ada yang betul-betul secara eksplisit menyatakan bahwa status HIV atau keberagaman seksual dan gender, tidak boleh menjadi dasar orang untuk mendiskriminasi orang lain,” tandasnya.
Masalah inilah yang menjadi fokus program kerja PBB melalui UNAIDS, ILO dan UNDP. Lembaga dunia itu juga menggandeng berbagai negara, lembaga non pemerintah (NGO), perusahaan untuk bersama-sama membangun dan memberdayakan masyarakat khususnya empat populasi kunci tersebut. Mereka perlu dorangkul dan diberdayakan, bukan dijauhi dan dikucil sehingga cenderung menjadi beban bagi masyarakat dan negara lainnya.
Perlu Langkah Yang Humanis
Masyarakat yang terkena dampaknya juga berasal dari kelompok yang beragam. Mulai dari masyarakat perkotaan dengan kelas sosial relatif tinggi, hingga penduduk di daerah pedesaan yang memiliki akses kesehatan terbatas. Belum lagi kelompok rentan, baik secara kesehatan maupun ekonomi.
Maka dari itu, pemulihan secara inklusif dibutuhkan dengan menggandeng seluruh elemen masyarakat. Dengan hastag #PemulihanInklusif, kita melibatkan lapisan masyarakat dari segala lini, diharapkan bangsa Indonesia dapat pulih lebih cepat serta mampu melakukan pembangunan secara inklusif dan berkelanjutan.
Disadari atau tidak, orang-orang di sekitar kita mungkin banyak yang terpaksa menganggur karena efisiensi perusahaan, atau terpaksa menutup usahanya karena pemberlakuan pembatasan sosial selama pandemi. Mereka bisa dibilang merupakan korban dampak pandemi jika dilihat dari segi sosial maupun ekonomi.
Kelompok masyarakat lain juga tidak boleh luput dari perhatian. Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang kesehariannya terbiasa dengan stigma negatif dan selama pandemi harus berjuang lebih keras lagi. Belum lagi pengungsi, tunawisma, orang dengan disabilitas, perempuan di daerah terpencil, dan anak-anak muda Indonesia yang jauh dari akses atas kesejahteraan dan perlindungan publik.
Menyikapi hal ini, berbagai stakeholders memutar otak agar kebijakan pembangunan bisa diterapkan dengan integritas dan berkelanjutan. Upaya-upaya itu perlu diperkuat termasuk dalam pemulihan yang inklusif, dengan memberdayakan mereka yang jadi kelompok rentan agar pemulihan pascapandemi bisa dirasakan oleh semua golongan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui mekanisme pendanaan antar badan PBB – United Nations COVID-19 Response and Recovery Multi-Partner Trust Fund (COVID-19 MPTF) yang dibentuk oleh Sekretaris-Jenderal PBB ikut mendukung upaya tersebut dengan menjadi katalisator percepatan pemulihan pandemi melalui pendekatan sosio-ekonomi secara inklusif dengan melibatkan pihak-pihak lain, supaya strategi dan dampak pemulihan bisa jauh lebih baik.
Pemerintah Indoensia bahkan PBB sudah menyerukan untuk memberikan perlaku yang sama termasuk kepada pengidah HIV, panyandang diaabilitas serta kaum perempuan. Dengan memberikan kesempatan kerja yang lebih luas kepada mereka, diharapkan mereka tetap bisa berkarya, memperoleh penghasilan yang lebih baik sehingga bisa hidup mandiri secara ekonomi.
Banyak potensi anak bangsa yang tidak bisa berkembang optimal, termasuk orang-orang berkebutuhan khusus karena mereka tidak memperoleh peluang dan kesempatan yang sama untuk bekerja dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap orang lahir dengan bakat an kemampuan masing-msisng. Masalahnya sekarang, mereka menddapatkan kesempatan atau tidak untuk mengembangkan potensinya serta mendapatkan bimbingan secara maksimal.
Pandemi yang melanda dunia saat ini menjadi momentum untuk kembali membuka lembaran baru yang sama dan sejajar bagi semua orang. Termasuk empat kelompok kunci yang kini menjadi fokus kerja UNAIDS. Pemerintah dan masyarakat Indonesia bisa ikut mengambil peran untuk ikut membangun kehidupan dan masa depan yang lebih baik bagi semua.
Dengan niat dan kemauan yang sama, kita optimis bisa. Jika program itu bisa dilakukan maka target PBB menghilangkan perlakukan yang tidak adil dan diskriminatif tahun 2030 akan bisa diwujudkan lebih cepat.*iskandar helmi