Pembebasan PPnBM Kendaraan Baru Kebijakan Tidak Konsisten
Minggu, 14 Februari 2021, 19:32 WIB
BisnisNews.id --BisnisNews.id -- Kebijakan relaksasi PPnBM dalam bentuk insentif PPnBM sebesar 100% dari tarif akan diberikan pada tahap pertama, lalu diikuti insentif PPnBM sebesar 50% dari tarif yang akan diberikan pada tahap kedua, dan insentif PPnBM 25% dari tarif akan diberikan pada tahap ketiga untuk pembeliam mobil dengan CC <1500.
Selanjutnya revisi kebijakan OJK untuk mendorong kredit pembelian kendaraan bermotor, yaitu melalui pengaturan mengenai uang muka (DP) 0%, dan penurunan ATMR Kredit (aktiva tertimbang menurut risiko) untuk kendaraan bermotor, yang akan mengikuti pemberlakuan insentif penurunan PPnBM ini jelas merupakan kebijakan yang tidak konsisten dengan dengan ambisi Pemerintah untuk menjadi raja kendaraan listrik di dunia.
Semestinya Kemenko Bidang Perekonomian itu mengeluarkan regulasi yang dapat mendorong industri otomotif beramai-ramai beralih memproduksi mobil listrik dan mendorong masyarakat beralih ke mobil listrik pula, agar Perpres No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vihicle).
Dengan begitu, untuk Transportasi Jalan betul-betul terwujud; bukan sebaliknya malah mendorong masyarakat beramai-ramai membeli mobil murah berbahan bakar fosil. Kebijakan ini justru dapat menjadi bumerang bagi industri mobil listrik yang harganya sekarang masih amat mahal. Masyarakat mulai bertanya, mengapa harus beli mobil listrik yang mahal, sementara Pemerintah justru memberikan insentif untuk membeli mobil murah?
Selama ini salah satu hambatan pengembangan mobil listrik adalah harganya yang terlalu tinggi. Harga jual mobil listrik tersebut dapat diturunkan bila Pemerintah memberikan insentif berupa penghapusan PPnBM dan regulasi lain, sehingga masyarakat merasa didorong untuk membeli mobil listrik. Bila tidak ada insentif untuk industri kendaraan listrik maupun bagi masyarakat untuk menggunakan kendaraan listrik, dikhawatirkan Perpres No. 55/2019 tersebut hanya macan ompong saja.
Insentif mestinya diberikan kepada jenis kendaraan yang digunakan untuk angkutan umum, baik mengangkut penumpang maupun barang agar tarif angkutan umum dan barang dapat ditekan. Menyelamatkan layanan angkutan umum, baik di perkotaan, pedesaan, maupun AKDP (antar kota dalam provinsi) dan AKAP (antar kota antar provinsi) tidak kalah pentingnya dengan menyelamatkan industri otomotif.
Namun sejauh ini belum ada insentif yang dapat dinikmati oleh para operator angkutan umum yang menyerap tenaga kerjanya jauh lebih banyak daripada industri otomatif. Artinya, kalau perspektif Pemerintah dalam mengambil kebijakan penghapusan PPnBM tersebut berdasarkan besaran tenaga kerja yang terserap, maka sektor transportasi publik jauh lebih banyak menyerap tenaga kerja.
*Ki Darmaningtyas, Ketua Instran (Institut Studi Transportasi) Di Jakarta/hlm