SDM dan Manajemen Operator Bus Pariwisata Harus Dibenahi
Selasa, 16 Maret 2021, 13:45 WIB
BisnisNews.id -- SDM dan Manajemen perusahaan Bus Pariwisata perlu dibenahi agar kejadian kecelakaan lalu lintas yang fatal tidak terulang. Keselamatan adalah investasi yang semestinya jadi perhatian setiap pelaku bisnis angkutan pariwisata. Gencarnya promosi pengembangan pariwisata di Nusantara jangan sampai menjadikan angkutan pariwisata mengabaikan aspek keselamatan.
Kecelakaan Bus Pariwisata PO Sri Padma Kencana di Sumedang, Rabu (10/3/2021) seakan mengagetkan kita setelah dalam setahun terakhir tidak terjadi kecelakaan serupa. Kecelakaan ini di Tanjakan Cae, Kecamatan Wado, Sumedang, Jawa Barat pada Rabu malam menyebabkan 29 orang tewas. Kecelakaan serupa terakhir terjadi pada Senin (24/12/2019), Bus PO Sriwijaya jatuh ke jurang di Liku Lematang, Desa Prahu Dipo, Kecematan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan menyebabkan 35 orang penumpang tewas. Bisnis PO Sriwijaya akhirnya ditutup operasinya.
Agar kasus pilu itu tidak terulang, perlu dilakukan antisipasi mendadak, Dishub setempat dan Polisi mendadak melakukan pemeriksaan sejumlah bus pariwisata di beberapa ruas jalan yang masuk ke daerahnya. Namun, hal seperti ini tidak akan menjadi efek jera bagi pengusaha bus pariwisata abal-abal. Karena hanya pengecekan dokumen, namun tidak ditindaklanjuti dengan temuan lainnya, seperti berapa jumlah armada bus yang dimiliki perusahaan, punyakah tempat penyimpanan kendaraan dan bengkel. Sepertinya, ini upaya yang sia-sia dan akan berulang lagi jika tidak diiringi pembenahan yang komprehensif.
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 117 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Tidak Dalam Trayek, salah satu syarat untuk mendirikan perusahaan angkutan umum pariwisata, minimal memiliki 5 armada bus. Batasan minimal tersebut bermakna agar terjaga kerlanjutan bisnis angkutan umum.
Hal itu sudah diatur Pasal 37, untuk memperoleh izin sebagai angkutan umum, Perusahaan Angkutan Umum harus memenuhi persyaratan (a) memiliki paling sedikit 5 (lima) kendaraan; (b) memiliki/menguasai tempat penyimpanan kendaraan yang mampu menampung sesuai dengan jumlah kendaraan yang dimiliki; dan (c) menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan (bengkel) yang dibuktikan dengan dokumen kepemilikan atau perjanjian kerjasama dengan pihak lain
Secara umum, faktor utama terbesar penyebab kecelakaan lalu lintas adalah manusia, sarana, prasarana dan lingkungan. Akan tetapi yang sering dibenahi bukan manusianya, baru sebatas aspek sarana, prasarana dan regulasi.
Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) adalah salah satu pembenahan yang terkait dengan faktor manusia. Jika SMK berjalan dengan baik dan konsisten di semua perusahaan angkutan umum, sudah barang tentu akan turut mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas. Sekarang sudah mulai dilakukan pembenahan SMK tersebut yang targetnya selesai tahun 2025. Mungkin perlu penambahan anggaran dan SDM supaya target bisa lebih cepat lagi selesai.
Tahun 2020, salah satu Balai Pengelola Transportasi Daerah (BPTD) di Sumatera bersama Polisi dan PT Jasa Raharja pernah melakukan inventarisasi keberadaan bus pariwisata. Hasilnya, mayoritas bus pariwisata tidak berijin, baik plat kuning maupun plat hitam. Kemudian, para pengusaha itu didorong untuk mengurus perijinan melalui aplikasi SPIONAM juga terganjal kelengkapan dokumen kendaraan. Mayoritas kendaraan bus tersebut dari Pulau Jawa dan ada kartu pengawaspun sudah kadaluarsa. Praktek seperti ini harus segera dibenahi, karena pasti akan berpengaruh pada manajemen keselamatan perusahaan.
Pengawasan bus pariwisata di jalan dan di lokasi wisata juga dapat jadi bumerang, karena risikonya harus menyediakan bus pengganti. Akhirnya, operasional bus pariwisata sama sekali tidak terawasi. Termasuk kemajuan atau progres untuk perolehan perijinan membuka usaha bus pariwisata resmi, karena harus penyesuaian terlebih dulu dokumen perusahaan dan kendaraan yang cukup menyita waktu dan biaya.
Dampak di lapangan, bus pariwisata beroperasi dengan kondisi seadanya. Sangat minim atau tanpa pengawasan baik dari petugas Ditjen Hubdat dengan keterbatasan anggaran, maupun petugas di Dinas Perhubungan di daerah selain anggaran juga merasa bukan kewenangannya.
Jika kondisi angkutan pariwisata seperti di atas, tinggallah berdoa jika bus wisata apakah selamat atau tidak saat beroperasi. Sekarang, pemerintah sedang menggencarkan program pariwisata di seluruh pelosok Nusantara. Keberadaan bus pariwisata menjadi salah satu andalan untuk dapat memberikan akses dan membawa pelancong sebanyak mungkin mengunjungi lokasi wisata.
Sudah barang tentu, bisnis angkutan umum wisata akan turut meningkat. Kemudahan untuk membuka peluang bisnis angkutan wisata dapat lebih dipermudah. Namun jangan sampai mengabaikan atau menghindari aspek keselamatan. Keselamatan adalah investasi, sehingga memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Dalam penyelenggaraan transportasi, keselamatan mutlak harus dipenuhi tanpa ada kompromi.
Kewenangan penyelenggaraan angkutan pariwisata berada di Ditjenhubdat. Sekarang di daerah sudah ada 25 Badan Pengelola Transportasi Daerah (BPTD) di 34 provinsi, sehingga dapat membantu membina dan mengawasi operasional bus pariwisata.
Waktu Kerja Pengemudi
Di sisi lain, jika pengemudi kurang istirahat yang cukup, bisa jadi menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas. Dan hal ini akan membahayakan pengguna jalan dan penumpang di dalam bus pariwisata itu sendiri.
Masih ditemukan sejumlah pengusaha bus pariwisata tidak memperhatikan jam kerja pengemudi, menyebabkan keselamatan diabaikan. Waktu kerja mengemudi sudah diatur dalam pasal 90 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal tersbut dijelaskan bahwa (1) setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
(2) Waktu kerja bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum paling lama 8 (delapan) jam sehari, (3) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum setelah mengemudikan Kendaraan selama 4 (empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam, dan (4) Dalam hal tertentu Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 (satu) jam.
Selanjutnya, sanksinya di dalam Pasal 92, (1) Setiap Perusahaan Angkutan Umum yang tidak mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian Pengemudi Kendaraan Umum dikenai sanksi administratif; (2) Sanksi administratif berupa (a) peringatan tertulis; (b) pemberian denda administratif; (c) pembekuan izin; dan/atau (d) pencabutan izin.
Seharusnya, Kementerian Ketenagakerjaan dapat membuat Peraturan Menteri yang mengatur tentang waktu kerja, waktu istirahat dan waktu libur pengemudi. Juga mengatur standar gaji atau honor untuk pengemudi angkutan pariwisata.
Ditambah lagi tempat istirahat di lokasi wisata dan menginap pengemudi yang katanya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Perlu dipertegas lagi dengan mengecek setiap lokasi wisata dan penginapan, apakah sudah benar-benar menyediakan tempat istirahat yang layak bagi pengemudi bus pariwisata?
Ditjen Hubdat harus memeriksa dan menindak perusahaaan angkutan pariwisata abal-abal. Jika perusahaan hanya memiliki satu armada bus, tentunya akan memaksimalkan keuntungan dengan satu bus itu. Bahkan, mengabaikan prinsip-prinsip keselamatan.
*Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Kabid Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat/hlm