SKK Migas Atas Capaian Lifting Migas Terus Turun, Siapa Yang Salah ?
Kamis, 26 Mei 2022, 09:08 WIB
BisnisNews.id - Selama ini publik selalu menimpakan kesalahan terkait apapun permasalahan dalam industri Minyak dan Gas (Migas) kepada Pertamina selaku perusahaan negara dan terkait ketenagalistrikan kepada PT PLN. Lantai, siapa yang paling bertanggung jawab terkait capaian lifting migas yang menjadi salah satu penyokong penerimaan negara di APBN ?
Sementara, tanggung jawab Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) juga patut dipertanyakan, sebab permasalahan kinerja buruk telah terjadi pada BUMN lain atas persoalan lainnya ? Yaitu beban utang serta jamak dialami BUMN-BUMN Karya yang membangun infrastruktur diantaranya jalan bebas hambatan berbayar (Tol).
Indikasi akan terjadinya permasalahan teknis kebangkrutan pada BUMN juga akan dihadapi PT. Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero) dan PT. Pertamina (Persero) diawali oleh terjadinya kelangkaan BBM jenis tertentu dan peningkatan harga keekonomian minyak mentah dunia.
Lalu, apa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumbar Saya Mineral (ESDM) dan Kementerian BUMN untuk mencegah terjadinya kebangkrutan teknis BUMN tersebut!?
Paling tidak kemungkinan kasus teknis yang akan dihadapi oleh BUMN Pertamina, yaitu menyangkut persoalan lifting minyak dan gas bumi dan kebijakan penentuan harga BBM berpotensi membangkrutkannya ?
Pasalnya, realisasi produksi (lifting) minyak dan gas bumi (migas) Indonesia terus menerus mengalami penurunan sejak Tahun 2010 hingga 2020 lalu. Menurut Direktur Jenderal Anggaran (Dirjen Anggaran) Kementerian Keuangan dalam rapat bersama Komisi VII DPR pada Hari Kamis tanggal 10 Juni 2021, bahwa 10 (sepuluh) tahun lalu, lifting minyak masih bisa mencapai angka 954 ribu barrel per hari (bph).
Namun, kemampuan tersebut menurun hingga hanya berhasil dicapai sejumlah 707 ribu barrel per hari (bph) pada Tahun 2020 yang lalu. Data Kementerian Keuangan juga mencatat lifting minyak pada Tahun 2010 mencapai 954 ribu bph. Kemudian, kemampuan lifting turun menjadi 898 ribu bph pada Tahun 2011 dan 860 ribu bph pada Tahun 2012.
Lalu, secara berturut-turut angka lifting minyak kembali turun menjadi 825 ribu bph pada Tahun 2013, 794 ribu bph pada Tahun 2014, 776 ribu bph Tahun 2015, dan 829 ribu pada Tahun 2016.
Produksi minyak Indonesia kembali berkurang menjadi 804 ribu pada Tahun 2017, 778 ribu bph pada Tahun 2018, 746 ribu bph pada Tahun 2019, dan pada Tahun 2020 lalu merosot menjadi 707 ribu bph. Sementara itu, realisasi lifting minyak pada bulan April Tahun 2021 hanya mencapai sejumlah 643 ribu bph atau 91,17 persen dari sasaran (target) APBN Tahun 2021 yang sejumlah 705 ribu bph.
Sejalan dengan kondisi minyak, ternyata lifting gas juga terus berkurang. Pada Tahun 2010 mencapai 1,32 juta barel setara minyak per hari (BOEPD). Namun, tahun 2020 lalu, lifting minyak capaiannya hanya 983 juta BOEPD. Sampai pada bulan April Tahun 2021 lifting gas hanya mencapai sejumlah 946 ribu BOEPD atau setara 95,69 persen dari sasaran (target) dalam APBN yaitu sejumlah 1,007 juta BOEPD.
Penurunan lifting minyak dan gas ini menunjukkan semakin memburuknya kinerja sektor energi Indonesia yang dicapai oleh pemerintah di satu sisi. Salah satu faktor yang mungkin menjadi penyebabnya, yaitu masih mengandalkan sumur-sumur tua yang produktifitasnya tidak lagi optimal secara alamiah, dan penyerapan di konsumen akhir (end buyer) yang juga rendah.
Disisi yang lain, kebijakan harga BBM yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai penopang perbaikan kinerja BUMN, khususnya Pertamina dan PLN justru tidak menguntungkan posisi masing-masing ditengah kenaikan harga keekonomian minyak mentah dan batubara di dunia sebagai sumber pembentuk harga pokok produksi BBM dan listrik ke konsumen.
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi/ hlm