Prof. Jusman: Masalah Kita, Peraturan Model Jaman Belanda dan Sebelum Reformasi 98
Minggu, 14 Juli 2019, 08:16 WIBBisnisnews.id -- Jika berkunjung ke perbatasan Indonesia Malaysia tepatnya di Naga Badau dan Putusibau Kalimantan Barat dapat merasakan denyut pertumbuhan ekonomi diwilayah perbatasan itu (RI-Malaysia). Meski disana-sini masih lebar perbedaan di antara kawasan ekonomi yang dikembangkan oleh Indonesia dengan tetangganya di Malaysia.
"Paling tidak, kita sudah mampu menemukan Bupati dan Camat yang semakin aktif memikirkan pola dan cara-cara baru untuk membangkitkan potensi ekonomi di daerah," kata Prof. Jusman Sjafei Djamal dalam catatan kritis melalui akun pribadinya @jusman sjafei djamal, kemarin.
Menurutnya masyarakat perbatasan (Nanga, Badau) kini telah semakin memiliki kecerdasan dan daya tarik untuk ber-wiraswasta yang cukup mumpuni. "Ada Daya Entreprenerneurship yang tumbuh berkembang untuk meningkatkan pendapatan daerah. Seiring dengan pengalaman desentralisasi kewenangan sejak Reformasi 1998," kata mantan Menhub era Presiden SBY itu.
Baca Juga
Kini, masalah utama yang dihadapi, menurut Jusman adalah apa yang di Amerika disebut dengan istilah "Regulation Wall", Tembok Berlin berupa peraturan peraturan model jaman Belanda dan jaman sebelum Reformasi 98 yang masih tersisa dan belum diformat ulang dengan kemajuan proses desentralisasi yang ada.
"Tembok Berlin, Peraturan Perda maupun peraturan lain itu mungkin dapat diruntuhkan, sehingga aturan investasi dan kebangkitan pengusaha daerah dan pusat tidak terbelenggu," jelas Jusman.
Menurutnya, infrastruktur jalan raya menuju perbatasan (RI-Malaysia) kini sudah jauh lebih baik kualitasnya. Kini dari Putusibau ke Nanga, Badau dapat ditempuh tiga jam. Tiga perempat jalan sudah beraspal. Mudah mudahan kalau semua telah diaspal jarak itu dapat ditempuh dalam satu jam.
"Kalau kita terus meliwati batas dan masuk kejalan jalan dikawasan Malaysia semuanya seperti jalan jalan raya di daerah Aceh. Lebar dan mulus, memanjakan para pengemudi," papar ahli pesawat terbang jebolan ITB tersebut.
Diharapkan, dengan pembangunan infrastruktur logistik dan kawasan industri yang tertelah terbangun selama lima tahun terakhir ini akan muncul pusat pusat pertumbuhan ekonomi kawasan dengan nilai tambah lebih tinggi yang mampu memberikan lapangan pekerjaan yang lebih besar.
Kualitas TKI
Tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam pengamatan saya, sebut Jusman, memiliki daya kompetisi tinggi jika bekerja di kawasan Industri baik domestik maupun internasional. Banyak manajer asing yang mengatakan Manusia Bersumber Daya iptek kita "memiliki Learning Capacity tinggi". Lebih Adaptip dan multi talent. Sehingga lebih trampil dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan.
Kata teman saya para manajer Perusahaan Asing, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) umumnya hanya memiliki "draw back" dalam "spirit kerja yang sering tergantung mood". "Mereka bekerja dengan jadwal yang Mirip seperti seniman. Kerja tidak mau diatur dan karenanya Delivery Time atau ketepatan jadwal dan biaya sering sukar dikelola," terang Jusman.
Oleh karenanya, diperlukan Mandor yang "strength", kuat berwibawa. Tak heran jika tenaga kerja Indonesia lebih berdaya guna tinggi di perusahaan Jepang, Korea Selatan ataupun perusahaan Oil and gas yang memiliki disiplin sangat ketat.
"Tak heran jika banyak Negara ingin memiliki Tenaga Kerja Indonesia. Di Jepang misalnya ada kurang lebih 45 000 orang Indonesia yang cari kesempatan kerja," urai Jusman.
Dia menambahkan, kita sering tak faham peta Geography of Jobs and Innovation. Soal berburu nasib dan bekerja diluar Negeri kita kalah spiritnya dari Orang India, China dan Korea. Sebab para analis ekonomi hanya focus pada masalah ancaman dan weaknesses saja. Tidak ada yang berupaya mencermati Value Added, Strength and Opportunities yang terbuka.
"Kita terus menerus dihantui kisah penganiayaan dan cerita sedih para TKI dimasa lalu. Akibatnya kita tidak memiliki cara untuk meleindungi kepentingan para pemburu devisa ini. Semua cari jalan aman. Keluar Larangan : orang tak boleh kerja di luar negeri. Lebih baik disini, mangan ora manga asal kumpul," aku Jusman.
"Kita punya horison berfikir untuk jadi Raja diraja di kampung sendiri. Ingin jadi Preman Lontong kata anak Medan dimasa lalu. Kejagoannya menonjol dan terbatas pada lingkaran kampung sendiri. Seperti ikan dalam kolam. Hanya berenang hilir mudik di rumah sendiri," tegas Jusman.(helmi)