Waspada Berkendara Di Jalan Tol Saat Mudik Nataru
Sabtu, 07 Desember 2019, 08:32 WIBBisnisNews.id -- Saat ini kita sedang dimanjakan dengan keberadaan Tol Transjawa yang membentang dari Merak hingga ke Banyuwangi, dan tidak lama lagi akan tersambung dengan Tol Trans Sumatra yang menyambung dari Bakauheni Lampung hingga ke Banda Aceh. Infrastruktur jalan ini tentu akan memudahkan mobikutas orang dan barang, termasuk daat peak season seperti Lebaran dan Natal serta Tahun Baru.
Kisah lama tentang perjalanan yang membosankan dan melelahkan, diwarnai dengan kemacetan, mix traffic serta waktu tempuh yang lama sudah tidak ada lagi. “Pesan” berantai mengenai jalan tol saat ini adalah tentang kecepatan, kenyamanan berkendara serta kehandalan jalan seringkali mewarnai dunia transportasi jalan kita.
"Dampak positif yang muncul saat ini, industri angkutan umum melalui moda jalan mulai bergeliat dan berani bersaing dengan moda kereta api maupun pesawat terbang, dimana sebelumnya hal ini hampir dapat dikatakan “impossible”, kata Ketua KNKT Dr. Soerjanto Tjahjono di Jakarta.
Fenomena ini, lanjut dia, diwarnai dengan makin maraknya bus-bus modern, bus double decker yang memiliki fasilitas sekelas pesawat dan waktu tempuh serta tarip yang kompetitif dengan kereta api.
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diwaspadai oleh para pengguna jalan yang akan menggunakan jalan tol, yang sangat penting dan mungkin saat ini terabaikan namun bisa menjadi mesin pembunuh di jalan tol. "Potensi yang terakhir ini yang menjadi konsens KNKT untuk kembali diingatkan menjelang arus mudik Nataru 2020 mendatang," jelas Soerjanto mengingatkan.
Sedikitnya, ada tiga hal penting yang perlu menjadi perhatian masyarajat khususnya pengguna jalan tol. Mereka itu, menurut Soerjanto adalah:
Pertama, Batasi kecepatan. Jalan tol dibangun dengan standar teknis ideal, akses dibatasi serta performansi jalan yang terjaga dengan baik. Hal itu menjadikan jalan tol sebagai jalan yang menempati kelas pelayanan jalan A. "Pada kelas pelayanan jalan tersebut, pengguna dapat berkendara dengan bebas memacu kecepatannya tanpa gangguan atau yang dikenal dalam ilmu transport dengan istilah “free flow speed” atau kecepatan arus bebas," ujar Soerjanto.
"Namun satu hal yang harus diingat adalah bahwa kendaraan saat ini tidak ada yang memiliki desain passive safety untuk keadaan tabrakan pada kecepatan diatas 70 km/jam ke atas. Ketahanan tabrak kendaraan saat ini didesain maksimal pada kecepatan 70 km/jam," jelas Soerjanto.
Artinya, menurut Ketua KNKT itu, jika terjadi kecelakaan pada kecepatan diatasnya, maka teknologi otomotif belum mampu menjaga keselamatan anda. Oleh sebab itu, kata Soerjanto mengingatkan, jangan tergiur dengan pesan berantai mengenai kecepatan waktu tempuh di jalan tol, tetap kendalikan kecepatan dan patuhi rambu batasan kecepatan di jalan tol.
Kedua, Lengah / mengantuk. Mengemudi pada pagi hari, papar Soerjanto, dan mengemudi pada jalan yang lurus dan monoton, mengemudi tanpa gangguan lalu lintas lainnya adalah salah satu penyebab kelengahan, kejenuhan. Implikasinya berdampak pada mengantuk dan menurunnya kewaspadaan serta reaksi mengemudi.
"Perbedaan kecepatan antara kendaraan pribadi dengan kendaraan barang juga perlu mendapat perhatian yang sangat serius pengguna jalan tol," papar Soerjanto mengingatkan.
Survey KNKT di Cipali dan Cipularang
Hasil survey KNKT pada ruas jalan tol Cipali dan Cipularang, terang Soerjanto, menunjukkan gap kecepatan antara kendaraan pribadi dengan kendaraan barang adalah pada angka 50 s/d 100 km/jam. "Sementara iRAP (International Road Assessment Programme) hanya merekomendasikan gap tersebut maksimal pada angka 30 km/jam."
Peningkatan gap diatasnya akan berpotensi pada peningkatan resiko tabrak depan belakang. Hal ini menjawab pertanyaan kenapa kecelakaan di Cipularang didominasi oleh kecelakaan tabrak depan belakang dan di ruas jalan tol Cipali statistic kecelakaan pada bulan Juli 2018 sampai Juli 2019 menunjukkan adanya kejadian tabrak depan belakang setiap harinya!
Oleh sebab itu, pintad Soerjanto, sudah saatnya pengelola tol serius dalam menerapkan konsep speed management di jalan tol dan bagi pengguna jalan tol agar lebih waspada mengenai fenomena ini;
Ketiga, Pecah ban. Permasalahan terakhir di jalan tol, adalah potensi bahaya pada ban. Masyarakat saat ini terjebak pada anggapan bahwa penyebab pecah ban adalah karena ban gundul. Salah besar!
"Penyebab pecah ban adalah tekanan angin yang kurang. Pada kondisi tekanan angin ban dibawah standar, maka tekanan udara didalam ban akan meningkat yang diikuti oleh naiknya temperatur," urai Soerjanto.
Dikatakan, temperatur udara yang tinggi inilah yang memicu terjadinya proses polymerisasi pada ban, dimana strukturnya akan mengalami perubahan dan menurunkan performance ban. "Pada saat tekanan angin kurang, bagian ban yang paling banyak mengalami peningkatan tekanan adalah pada sisi dinding ban (side wall) dimana sisi ini adalah sisi paling kritis pada ban."
Saat terjadi polymerisasi maka pertama kali yang akan mengalami perubahan struktur adalah pada bagian dinding ban dan dampaknya pada titik tertentu ban akan meledak karena struktur ban tidak mampu lagi menahan tekanan udara didalamnya.
Beberapa investigasi KNKT pada kasus kecelakaan pecah ban menemukan adanya bekas polymerisasi ini pada ban berupa warna ungu pada bagian dalam ban dan munculnya “chicken crack” berupa pecah-pecah pada bagian sisi ban.
"Jadi, sekalipun mobil anda baru, ban anda baru, tapi anda lupa memeriksa tekanan angin ban anda, maka pada saat melaju di jalan tol maut mengintai anda setiap saat, karena hampir semua kecelakaan pecah ban selalu memberi dampak fatality yang tinggi," tegas Soerjanto.(helmi)