Beda Online, Beda Realita : Hijrah Jadi Mimpi Buruk Bagi Keluarga Indonesia
Jumat, 04 Agustus 2017, 13:41 WIBBisnisnewsid - Terpikat oleh apa yang telah dibacanya secara online, gadis Indonesia berusia 17 tahun membujuk orang tua, saudara perempuan, bibi, paman dan sepupunya bahwa mereka semua harus pindah ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok ISIS.
Sekitar dua lusin sanak saudaranya menemukan informasi pendidikan gratis dan perawatan kesehatan bagi perempuan. Bisa membayar hutang ayah dan pamannya. Lapangan pekerjaan untuk yang pria.
Dan bonus terbesar adalah kesempatan hidup sebagai masyarakat Islam ideal.
Tidak butuh waktu lama sebelum impian dan harapan akan kehidupan yang lebih baik hancur, semua yang dijanjikan gagal terwujud. Sebaliknya, keluarga mereka dihadapkan pada sebuah masyarakat di mana wanita lajang diharapkan menikah dengan pejuang IS, ketidakadilan dan kebrutalan menang, pertempuran berkecamuk dan semua pria berbadan sehat dipaksa melapor ke garis depan.
Nurshardrina Khairadhania, 19 tahun, mengingat keputusan keluarganya berimigrasi ke kubu ISIS di Raqqa dua tahun lalu, dan hanya beberapa bulan kemudian mereka berusaha untuk melarikan diri.
Dalam waktu itu, keluarga mereka mengalami perpisahan, neneknya meninggal dan paman terbunuh dalam serangan udara.
"ISIS hanya berbagi hal-hal baik di internet," kata Nur.
Dia sekarang tinggal bersama ibunya, dua saudara perempuan, tiga bibi, dua sepupu dan ketiga anak mereka di Ain Issa, sebuah kamp untuk pasukan pengungsi Kurdi yang berusaha mengusir ISIS dari Raqqa.
Ayahnya dan empat saudara sepupu yang masih hidup berada dalam tahanan di utara sana. Sementara mereka diinterogasi pasukan Kurdi atas kemungkinan hubungan dengan ISIS, para wanita menunggu di tenda yang panas dan berharap keluarga bisa berkumpul kembali dan balik ke Jakarta.
Keluarga Nur termasuk ribuan orang Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Timur Tengah yang mengejar impian masyarakat Islam baru yang diiklankan ISIS dalam video propaganda, blog online dan media sosial lainnya. Pada saat mereka tiba di sana, yang terjadi kebrutalan, penculikan dan perbudakan perempuan.
Bagi Nur dan saudara perempuannya, hal itu adalah bagian dari kampanye kebencian melawan kekhalifahan Islam yang baru atau hanya membenarkan hukuman atas kejahatan di sana.
"Saya takut melihatnya. Saya pertama kali mengira itu adalah kelompok lain yang membenci ISIS, "kata Nur.
Nur mengingat ia memanggil keluarganya beberapa bulan setelah para ekstremis menyatakan kekhalifahan mereka di wilayah Suriah dan Irak pada musim panas 2014.
Ia menceritakan informasi yang ada di blog ISIS: saudaranya berusia 21 tahun dapat melanjutkan pendidikan komputersecara gratis. Sepupunya usia 32 tahun, Difansa Rachmani, bisa mendapatkan perawatan kesehatan gratis untuk dirinya dan ketiga anaknya yang salah satunya autis. Pamannya bisa keluar dari tekanan hutang karena bisnis montir mekanik di Jakarta, bahkan bisa membuka yang baru di Raqqa, karena mekanik bisa membuat bom mobil khas ekstrimis.
Bagi Nur, ISIS nampaknya menjadi tempat yang tepat untuk mengejar keinginannya belajar Islam dan berlatih menjadi praktisi kesehatan.
"Ini adalah tempat yang baik untuk hidup dalam kedamaian keadilan dan insyaallah, setelah hijrah, kita akan pergi ke surga," kenangnya. "Saya ingin mengajak seluruh keluarga saya. Kami pergi bersama selamanya dalam kehidupan dan akhirat. "
Keluarga tersebut menjual rumah, mobil dan perhiasan emas mereka, mengumpulkan 38 ribu dolar untuk perjalanan ke Turki dan kemudian ke Syria.
Tapi begitu di Turki, pertengkaran pertama dimulai, tentang bagaimana menyelinap ke Suriah. Tujuh kerabat memutuskan berjalan sendiri dan ditahan oleh pihak berwenang Turki saat mencoba melintasi perbatasan secara tidak sah. Mereka dideportasi kembali ke Indonesia dan keluarga tersebut mengatakan, mereka tetap diawasi karena sisa keluarga masih tinggal di wilayah ISIS.
Setelah tiba di wilayah ISIS pada bulan Agustus 2015, keluarga tersebut terbagi lagi: orang-orang diperintahkan mengikuti kelas pendidikan Islam, dan akhirnya dipenjara berbulan-bulan karena menolak pelatihan militer dan pelayanan. Setelah dibebaskan, mereka bersembunyi untuk menghindari rekrutmen paksa atau hukuman penjara baru. Para wanita dan anak perempuan dikirim ke asrama.
Nur kaget dengan kehidupan asrama yang dikelola ISIS. Para wanita bertengkar, bergosip, saling mencuri dan terkadang malah bertengkar dengan pisau, katanya. Namanya, saudara perempuannya dan sepupu dimasukkan ke dalam daftar pengantin wanita dan diedarkan ke pejuang ISIS yang akan mengajukan pernikahan bahkan tanpa perlu menemui mereka.
"Ini gila! Kami tidak tahu siapa mereka. Kami tidak tahu latar belakang mereka. Mereka ingin menikah dan menikah," katanya.
"ISIS hanya menginginkan tiga hal: wanita, kekuatan dan uang," tegasnya.
"Mereka bertingkah seperti Tuhan," Nur menambahkan. "Mereka membuat hukum sendiri. Mereka sangat jauh dari Islam.
Dalam sebuah wawancara terpisah yang dipantau AP di sebuah pusat keamanan yang dikelola pasukan Kurdi di Kobani, utara Raqqa, di mana dia dan anggota keluarga laki-laki lainnya ditanyai atas kemungkinan hubungan antara IS, sepupu Nur yang berusia 18 tahun mengatakan bahwa tinggal bersama ekstremis seperti tinggal di penjara.
"Kami tidak ingin pergi ke Suriah untuk berperang," katanya. "Kami hanya ingin hidup di negara Islam. Tapi ini bukan negara Islam. Ini tidak adil dan Muslim memerangi Muslim. "
Orang ISIS mengabaikan pertanyaan terus-menerus Nur tentang kelanjutan pendidikannya di Raqqa. Dan karena mereka menolak masuk dinas militer, orang-orang itu tidak pernah mendapat pekerjaan yang telah mereka janjikan. Ketika pertempuran Raqqa diintensifkan pada bulan Juni, militan ISIS mendirikan pos pemeriksaan di sekitar kota, mencari pejuang dan orang-orang tersebut.
Rachmani mendapat operasi gratis untuk penyakit leher kronis dan putranya mendapat perhatian karena autisme dan akhirnya bisa berjalan. Segera setelah keluarga tersebut datang, dia dikirim ke markas Mosul di Irak untuk operasi tersebut.
"Saya meninggalkan negara saya karena alasan egois saya yang bodoh. Saya menginginkan fasilitas gratis, "kata Rachmani. "Syukurlah saya mendapat operasi tapi setelah itu semua bohong."
Keluarga tersebut mencoba berbulan-bulan melarikan diri. Ketika kampanye yang dipimpin Kurdi untuk merebut kembali Raqqa dari ISIS diintensifkan pada bulan Juni, keluarga tersebut akhirnya melihat kesempatan. Dengan beresiko, Nur menggunakan kafe internet umum untuk mencari "musuh IS", terlepas dari bahaya penggerebekan yang sering dilakukan ISIS. Dia menghubungi aktivis dan akhirnya menemukan penyelundup. Dengan harga 4 ribu dolar, ia membawa mereka ke garis depan dan memasuki wilayah yang dikuasai Kurdi. Nur dan keluarganya menyerahkan diri pada pasukan Kurdi pada tanggal 10 Juni.
Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan pihak berwenang telah mengetahui selama beberapa bulan tentang keberadaan WNI, termasuk keluarga Nur, di kamp Ain Issa dan sedang menyelidiki kondisi mereka.
"Namun, mereka telah dua tahun tinggal di wilayah IS, jadi penilaian risiko diperlukan dan kami telah menghadapi hambatan untuk mencapainya karena mereka berada di daerah yang tidak dikendalikan oleh pemerintah resmi manapun, baik Irak maupun Suriah," kata Lalu Muhammad Iqbal, direktur di kementerian untuk perlindungan WNI.
Kepada pewawancara Sarah El Deeb dari The Associated Press, Nur mengatakan ia sangat menyesal, bodoh dan naif. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri tentang keadaan keluarganya, "Semoga Tuhan menerima pertobatan saya...Ini tidak seperti liburan ke Turki. Ini adalah perjalanan sangat berbahaya." (marloft)