Ferdinand : Nekad Masuk Arbitrase, FI Akan Gugat Pemerintah 50 Miliar Dolar
Rabu, 08 Maret 2017, 21:04 WIB
Bisnisnews.id - Freeport Indonesia (FI) akan menggugat Indonesia sebesar 50 miliar dolar, nilai gugatan yang sangat fantastis, 2 kali lipat lebih besar dari harapan Pemerintah sebelumnya terhadap investasi Raja Salman dari Arab Saudi sebesar 25 miliar dolar.
Nasionalis ekonomi telah menahan FI untuk tidak menuai keuntungan yang lebih besar dari industri tambang, tapi hal ini menjadi bumerang karena investor jadi berebutan keluar termasuk Rio Tinto yang menjadi takut berinvestasi sehingga dikhawatirkan perlambatan pertumbuhan ekonomi kembali terjadi.
Ketika ditanyakan soal peluang swasta nasional dan BUMN tentang bagaimana nasib tambang yang nantinya ditinggalkan FI, baik dari sisi teknologi maupun SDM, Direktur Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean, mengatakan bahwa Pemerintah tidak memiliki kemampuan dari sisi teknologi maupun finansial.
" SDM kita (mungkin) mampu meski belum begitu banyak ahli pada bidang under ground mining. Artinya, jika FI pergi, maka kita masih tetap akan membutuhkan kerjasama dengan pihak asing terkait teknologi dan finansial," kata Ferdinand.
" Terutama untuk menyiapkan infrastruktur dan peralatan kerja, akan butuh waktu dan biaya yang cukup besar. Ini yang kita tidak miliki," lanjutnya.
Tidak ada masalah tanpa solusi, Ferdinand juga menjelaskan bahwa sekarang yang harus dilakukan adalah melakukan negosiasi pasca 2021 terkait hak-hak yang masih bisa didapat lewat penerusan kerjasama dengan FI.
" Jika tidak tercapai kesepakatan, maka sebaiknya untuk pengelolaan paska 2021 dilakukan tender terbuka di dunia internasional untuk mengundang investor lain yang lebih memberikan keuntungan kepada bangsa. Inipun bukannya tidak beresiko ya, resikonya ada yaitu berhentinya produksi selama proses persiapan infrastruktur kerja," kata Ferdinand.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menyakini bahwa Inalum (PT Indonesia Asahan Alumunium Persero) mampu mengelola FI (24/02).
Ferdinand berpendapat bahwa Inalum tidak punya kapasitas untuk menangani Freeport, " Inalum itu terlalu kecil utk menangani tambang Freeport. Inalum tetap harus kerjasama dengan perusahaan lain."
Diketahui FI memberi tenggat waktu 120 hari pada pemerintah Indonesia terkait investasi perusahaan tersebut. Jika selama 120 hari sengketa tak terselesaikan, maka Freeport tempuh jalur arbitrase.
Walau Luhut mengatakan pemerintah sudah menyiapkan solusi untuk menghadapi tuntutan FI, Ferdinand mengomentari, " Terkait arbitrase, saya yakin kita berada di pihak lemah, jika sekarang masuk ke arbitrase dengan menggugat kebijakan pemerintah yang merubah secara sepihak KK ke rejim IUPK. Itu adalah pelangaran terhadap KK yang bersifat lex specialist. Jadi kemungkinan kita kalah di arbitrase sangat besar dengan ancaman ganti rugi yang cukup besar."
Ferdinand bahkan mengatakan jika ke arbitrase, FI akan gugat Indonesia setidaknya 50 miliar dolar," Hitungannya dari pendapatan langsung, potential lost, nilai saham perusahaan turun, dan lain-lain." Gugatan ini bernilai 2x lipat dari harapan Pemerintah (21/02) akan investasi Arab Saudi untuk tembus mencapai 25 miliar dolar.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan juga menanggapi FI yang akan membawa persoalan ini ke arbitrase, Jonan menyebut langkah itu jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah.
Tanggapan Ferdinand terhadap penyerapan tenaga kerja, " Tenaga kerja yang sekarang tentu akan diserap karena mereka sudah memiliki pengalaman bekerja yang panjang. Tentu hal ini akan menjadi pertimbangan bagi siapapun investornya, karena akan beresiko menghadirkan tenaga kerja baru pd areal tambang bawah tanah."
Kontroversial di ekspor mineral Januari 2017 yang awalnya ditujukan untuk memacu industri peleburan dalam negeri, tetapi malah menyebabkan penutupan tambang, hilangnya lapangan pekerjaan dan penurunan pendapatan pemerintah. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi iklim investasi asing.
Ferdinand berpendapat bahwa iklim investasi tentu akan berdampak., " Kita harus lihat Amerika saat ini dipimpin oleh seorang presiden yang ultranasionalis, dan salah satu pemegang saham FI adalah penasehat Presiden Trump. Tentu secara geopolitik dan ekonomi, ini akan mempengaruhi investasi khususnya dari negara sekutu Amerika dan Amerika sendiri. Kondisi itu akan dimanfaatkan pihak asing lainnya untuk memanfaatkan situasi dan justru mengambil keuntungan lebih banyak. Akhirnya kita keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya."
Direktur Energy Watch Indonesia yang juga merupakan pimpinan Rumah Amanah Rakyat ini menyakini bahwa kepercayaan investor asing akan menurun karena kasus Freeport.
" Dengan merubah sepihak dari KK ke IUPK adalah bentuk ketidak pastian berinvestasi, dimana pemerintah mengedepankan hukum kekuasaan dan bukan hukum hubungan bisnis. Ini berbahaya," tandasnya.
Tidak mudah mengembalikan kepercayaan investor, karena saat ini banyak negara yang semakin maju kualitas pemerintahannya dan menawarkan iklim investasi yang lebih baik dibanding Indonesia, " Di kawasan ASEAN saja kita sudah kalah, sudah bukan pilihan utama, apalagi dunia global secara keseluruhan," lanjutnya.
Kritikus mengatakan bahwa kebijakan nasionalistik membuat Indonesia menjadi negara yang tak pasti untuk berinvestasi.
" Nasionalisme tidak bisa diartikan secara sempit dan harafiah. Dengan tidak mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok saja, itu sdh nasionalis. Nasionalisme buta dan nasionalisme abal-abal jauh lebih berbahaya dari asing," tegas Ferdinand.
" Nah di dalam konteks hubungan bisnis antar negara seperti ini, nasionalisme itu harus diterapkan dalam konsep kedaulatan. Kedaulatan itu sangat mutlak untuk menegaskan bahwa kita adalah pemilik, penguasa dan berhak mengatur hak milik kita. Kontrak tidak boleh menghilangkan kedaulatan bangsa atas sumber daya alam kita. Itu yg pertama. Yang kedua adalah bagaimana memaksimalkan hasil sebesar-besarnya dari kontrak itu untuk bangsa dan rakyat," jelasnya.
Perubahan kebijakan terbaru memang telah memicu perselisihan sengit dengan Freeport, yang mengatakan telah memberikan pemerintah lebih dari 16,5 milyar dolar di pajak dan pembayaran lainnya sejak tahun 1991.
Namun demikian, Kementerian Keuangan memprediksi pembalikan ini bisa meningkatkan kas pemerintah sebesar 3,12 milyar dolar dalam 5 tahun ke depan.
" Pemerintah jelas harus memikirkan kembali posisinya mengenai nasionalisme dan lebih fokus pada realitas ekonomi," katanya di akhir wawancara. (Marloft/Syam SK)