HRW : " HAM di Indonesia Hanya Retorika Belaka "
Sabtu, 14 Januari 2017, 20:07 WIB
Bisnisnews.id - Human Rights Watch (HRW) mengatakan, selama 2016 pemerintah Indonesia dianggap gagal menerjemahkan retorika tentang nilai-nilai demokrasi dan kebebasan dalam tindakan nyata. Penilaian miring itu disampaikan dalam Laporan Dunia 2017, yang menyebutkan soal keadaan Hak Asasi Manusia (HAM) di lebih dari 90 negara.
HRW membidik Presiden Indonesia pada fokusnya untuk membawa perubahan besar di pemerintahan. " Retorika Joko Widodo untuk mendukung HAM telah gagal diterjemahkan menjadi bentuk kebijakan yang berarti," kata laporan itu.
"Selama 2 tahun Jokowi memerintah (laporan HRW berdasarkan kejadian di 2016), ia gagal dalam membela HAM bagi kaum minoritas yang sangat membutuhkan dukungan pemerintah dan perlindungan," kata Phelim Kine, Wakil Direktur Human Rights Watch Asia.
"Meskipun pemerintah Jokowi mengumumkan inisiatif lama untuk mempromosikan akuntabilitas pelanggaran HAM di masa lalu, tapi tidak ada tindak lanjut resmi, dan pelanggaran HAM masih saja terjadi."
Dalam laporan setebal 697 halaman itu, HRW mengamati 9 faktor HAM di Indonesia yang terdiri dari kebebasan beragama, hak wanita dan perempuan, Papua, orientasi seksual dan jender, reformasi militer dan kekebalan hukum, hak anak, hak disabilitas, pengungsi dan pencari suaka dan aktor internasional.
Pada 2016, Jokowi gagal mengatasi pernyataan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah senior dan pejabat militer yang akhirnya memicu pelanggaran hak-hak agama minoritas, seperti kriminalisasi Komunitas Gafatar, di mana 7 ribu orang diusir paksa, direlokasi, dan ditahan. Juga krisis LGBT yang mengungkap prasangka resmi bahwa pemerintah berada di balik kampanye diskriminatif terhadap penduduk LGBT.
Agama minoritas di Indonesia terus menghadapi peraturan diskriminatif dan serangan kekerasan oleh kelompok militan Islam. Demikian juga kekebalan hukum bagi pasukan keamanan di provinsi Papua dan Papua Barat juga masih menjadi masalah serius, di mana puluhan orang Papua tetap dipenjara karena tidak dapat mengekspresikan pandangan politik mereka.
Pada bulan April 2016, pemerintah melakukan diskusi terbuka tentang pembantaian yang didukung negara terhadap 1 juta orang yang diduga komunis dan lain-lain di tahun 1965-1966. Korban dan keluarga korban menentang narasi resmi yang mengatakan bahwa pembunuhan itu merupakan pertahanan heroik bangsa terhadap plot komunis untuk menggulingkan pemerintahan.
Namun, pemerintah tidak memberikan rincian proses akuntabilitas resmi untuk pembantaian tersebut, termasuk kapan itu mulai beroperasi. Keputusan Jokowi di Juli 2016 dengan menunjuk mantan Jenderal Wiranto sebagai Menteri Keamanan, yang mana Wiranto didakwa oleh UN PBB untuk kejahatan kemanusiaan, telah meningkatkan kekhawatiran tentang komitmen pemerintahan Jokowi untuk akuntabilitas HAM.
Jokowi juga terus vokal dalam dukungannya terhadap hukuman mati bagi pengedar narkoba. Indonesia telah mengeksekusi 4 pengedar narkoba pada bulan Juli 2016, namun pada menit-menit terakhir menunda eksekusi 10 hukuman mati lainnya sambil menunggu analisa komprehensif kasus mereka. Pemerintah telah mengindikasikan bahwa eksekusi akan terus pada tahun 2017. (marloft/Syam Sk)