Indonesia Perlu Selamatkan 70.000 Warganya Dari Kematian Dini
Jumat, 13 Januari 2017, 14:39 WIB
Bisnisnews.id - Emisi batubara di Asia Tenggara diproyeksikan meningkat 3 kali lipat pada tahun 2030 mengakibatkan tingginya kematian terkait polusi. Indonesia akan menderita jumlah tertinggi kematian dini, diikuti oleh Vietnam, dan Myanmar di tahun 2030, menurut laporan terbaru Harvard dan Green Peace, Jumat ini.
Para peneliti di Harvard dan Greenpeace mengatakan, kebutuhan listrik di Asia Tenggara diproyeksikan meningkat secara mengejutkan sebesar 83% antara tahun 2011 dan 2035, 2x lipat dari rata-rata global.
Jumlah pembangkit listrik di Indonesia diperkirakan telah lebih dari 2 kali lipat, dari 147 ke 323. Demikian juga Myanmar, Korea Selatan dan Jepang. Jumlah tersebut akan membuat emisi batubara di Asia Tenggara meningkat 3 kali lipat pada tahun 2030, dengan peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam.
" Dampak ekspansi tenaga batubara di Asia Tenggara dan Asia Timur telah diteliti. Ketergantungan pada batu bara di negara-negara berkembang Asia Tenggara akan memiliki dampak yang cukup besar terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat, " menurut pernyataan Shannon Koplitz, peneliti utama dalam proyek ini.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan migrasi perkotaan sebagai alasan untuk lompatan besar dalam permintaan energi. Asia Tenggara tidak seperti di AS, Eropa, China atau India yang masih cenderung harus menggunakan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara daripada energi terbarukan. Resikonya adalah konsekuensi kesehatan masyarakat bisa memburuk.
Sekitar 50.000 nyawa per tahun bisa diselamatkan pada tahun 2030, jika tidak ada pembangkit listrik tenaga batubara baru yang dibangun di Asia Tenggara, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan, demikian menurut para peneliti di Universitas Harvard dan Greenpeace Internasional.
Emisi polutan udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Asia Tenggara saat ini menyebabkan sekitar 20.000 kematian kelebihan per tahun, dan meningkat menjadi 70.000 pada tahun 2030, di mana mayoritas kematian, sekitar 55.000 nyawa akan berada di Asia Tenggara.
Beberapa analis menyanggah dan mengatakan bahwa membandingkan Indonesia sebagai kasus terburuk dibandingkan dengan AS, China dan India tidaklah adil. Cina mengkonsumsi 40 kali batubara dibanding Indonesia.
" IEA memahami bahwa tiap negara harus mengeksplorasi potensi energi rendah karbon, tetapi kemiskinan energi merupakan isu penting di banyak negara di dunia," kata juru bicara Badan Energi Internasional (IEA) kepada CNN.
" Justru insentif menarik dan perencanaan sektor energi jangka panjang dari pemerintah, akan membantu negara-negara Asia Tenggara memprioritaskan teknologi energi terbarukan," tambahnya.
Lauri Myllyvirta, spesialis polusi udara Greenpeace berpendapat jika proyek pembangkit listrik tenaga batu bara terus dibangun, emisi batubara di Asia Tenggara, Korea dan Jepang akan naik 3 kali lipat pada tahun 2030, melebihi total emisi batubara di AS dan Eropa.
Ia juga kembali menjelaskan bahwa peningkatan terbesar ada Indonesia dan Vietnam, yang bisa mengakibatkan 70.000 kematian dini di wilayah ini setiap tahun, menyaingi 100.000 kematian akibat 2.015 kabut asap di Indonesia.
"Negara-negara di Asia Tenggara memiliki kesempatan sekarang untuk segera menggeser kebijakan energi dan menyelamatkan puluhan ribu nyawa warga mereka. Dibandingkan Indonesia, Vietnam sudah mengambil langkah awal dengan membatalkan 17 pembangkit listrik tenaga batu bara mereka," kata Myllyvirta.
Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang masih mengejar pembangkit listrik tenaga batu bara baru, tertinggal dari China dan India yang mulai meningkatkan energi terbarukan.
China, emitor terbesar di dunia, telah menurunkan konsumsi batubaranya sejak 2013 dan tren ini akan terus berlanjut, meskipun masih ada lonjakan polusi baru-baru ini. Pencemaran emisi batubara di Cina diperkirakan mengakibatkan sekitar 9.000 kematian prematur pada tahun 2030, lebih sedikit dibanding negara-negara tetangga. (marloft)