Indonesia Urutan Kedua Dalam Daftar Pelaku Jihadis Asal Asing
Senin, 17 Juli 2017, 23:55 WIBBisnisnews.id - Indonesia berada dalam urutan kedua dalam daftar jumlah pelaku jihadis yang berasal dari negara-negara asing, yang ditangkap di Turki.
Dari 4.957 pejuang asing yang ditangkap di Turki, Rusia berada di puncak daftar dengan 804. Sedangkan Indonesia di urutan nomor dua dengan 435 penangkapan.
Australia hanya memiliki satu penangkapan yaitu Neil Prakash yang ditangkap akhir tahun lalu sedang berusaha menyeberangi perbatasan ke Turki dan saat ini berada di pengadilan Turki.
Seorang analis mengatakan jumlah orang Indonesia dalam daftar tersebut membingungkan dan sangat penting untuk keamanan Indonesia.
Hal lain menunjukkan bahwa orang Indonesia yang ditangkap sejauh ini di Turki termasuk keluarga dan sejumlah besar wanita dan anak-anak.
Olivier Guitta, CEO GlobalStrat, perusahaan konsultasi risiko dan keamanan geopolitik mengatakan statistik dari Kementerian Dalam Negeri Turki tidak menyebutkan kapan periode penahanan tersebut, namun dia yakini mungkin tahun 2015 sampai sekarang.
Dalam serangkaian Tweet tentang jumlah angka, Guitta mengatakan bahwa sangat penting bagi keamanan Indonesia sehingga banyak warganya bergabung atau mencoba bergabung dengan Negara Islam di Suriah.
"Jumlah orang Indonesia yang bergabung ISIS yang ditangkap di Turki benar-benar membingungkan dan mengejutkan karena mereka berada di nomor dua," katanya dikutip dari news.com.au. Sedangkan Tajikistan, Irak dan Prancis masing-masing duduk di nomor tiga, empat dan lima.
Analis terorisme Sidney Jones dari Institut Analisis Kebijakan Konflik yang berbasis di Jakarta, mengatakan bahwa sejumlah besar orang Indonesia yang ditangkap di Turki mungkin disebabkan fakta bahwa banyak perempuan dan anak-anak ditangkap setelah pergi bersama keluarga mereka ke Syria.
"Dalam tiga kelompok pertama deportasi yang dikirim kembali ke Indonesia pada 2017, dari total 137 individu, sekitar 79,2 persen adalah wanita dan anak-anak di bawah usia 15 tahun," kata Jones.
"Bila Anda mengatakan 'jihadis' maka pemikirannya adalah pejuang pria tapi banyak orang Indonesia pergi bersama keluarga dengan tujuan sesat dan membawa anak-anak mereka ke negara Islam murni."
"Bersama keluarga berarti meningkatkan kemungkinan tertangkap," kata Jones.
Petugas penegak hukum Australia telah lama mengkhawatirkan jumlah orang Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah dan kembali ke Indonesia.
Kepala kontra terorisme Australia dan Menteri akan menghadiri konferensi di Indonesia dalam 2 minggu untuk membahas masalah ISIS yang kembali dan ancaman yang mereka hadapi dengan rekan-rekan mereka di Indonesia.
Ini terjadi karena DPR memperdebatkan undang-undang baru, sehingga membuat pihak Indonesia merasa asing untuk bergabung dengan kelompok teror luar negeri, yang belum pernah ada sebelumnya.
Berdasarkan undang-undang tersebut, yang diharapkan akan segera selesai dalam beberapa bulan ke depan, mereka yang bergabung dengan kelompok teror asing akan dipenjara selama maksimal 15 tahun.
Saat ini, orang-orang Indonesia yang dideportasi dari Suriah ditahan di tempat penampungan yang dikelola oleh Kementerian Sosial.
Bulan lalu pihak berwenang mengumumkan bahwa 152 orang Indonesia, yang dideportasi dari Turki antara bulan Januari dan Juni tahun ini, telah dikirim pulang ke desa mereka setelah menjalani program deradikalisasi.
Tapi ada kekhawatiran bahwa beberapa jihadis merencanakan serangan di Indonesia. Dua tersangka dalam sebuah pembunuhan menusuk seorang petugas polisi di Sumatera Utara pada bulan Juni telah pergi ke Suriah pada tahun 2013, sehingga menimbulkan pertanyaan seberapa efektif program deradikalisasi dalam menghentikan niat yang menyebabkan kekacauan dan kematian.
Jones mengatakan bahwa pemantauan terhadap orang yang kembali tidak selalu efektif, tapi ini lebih ke masalah polisi.
"Mereka mencoba memisahkan orang-orang yang dideportasi yang menurut mereka berbahaya untuk diinterogasi lebih intensif di Markas Brimob dan akan mencoba menahan mereka karena dicurigai melakukan pelanggaran jika terasa berpotensi melakukan kekerasan. Tapi jika tidak ada dasar hukum untuk menahan, polisi harus membiarkan mereka pergi," kata Jones.
Dia mengatakan bahwa polisi Indonesia telah semakin efektif dalam mencegah orang pergi ke Syria dan menjadi lebih efisien dalam membuat daftar pengamatan ke Imigrasi dan memperingatkan pejabat agar lebih waspada mengenai orang-orang yang terbang ke Turki. (marloft)