Masa Keemasan Pelaut Yang Kian Meredup
Jumat, 16 Agustus 2019, 09:00 WIBBisnisNews.id -- Masa keemasan bagi pelaut Indonesia sudah mulai meredup. Para pahlawan devisa yang bekerja sebagai perwira atau ABK di kapal-kapal niaga nasional dan international kini mulai pudar. Masalahnya klasik, Indonesia mengalami surplus pelaut dan persaingan dengan pelaut asing juga kian ketat.
Implikasinya, makin banyak pelaut baik perwira atau ratting yang menganggur karena tak mendapatkan pekerjaan. Atau, mereka terpaksa kerja meski tidak sesuai standar dan kompetensi (ijazahnya).
Penelurusan BisnisNews.id di beberapa mess pelaut di Jakarta menyebutkan, tidak sedikit mereka harus menganggur atau menunggu pekerjaan di kapal karena peluang kerja di kapal makin kecil. "Tidak sedikit pula, mereka bekerja meski harus dawn grade," kata Oni, pelaut muda di Mess Cepaka Jakarta, kemarin.
Baca Juga
Maksudnya, seorang pelaut dengan ijazah DP III terpaksa menjadi juru mudi, atau oilers. "Padahal, pekerjaan itu pantasnya cukup dikerjakan oleh pelaut dengan ijazah DP V," aku Oni.
Andi, alumni PIP Makassar menceritakan pengalamannya, banyak teman bahkan senior harus bekerja dibawah standar. Dia rela dimarahi karena pemegang ijazah DP IV tapi terpaksa menjadi oiler di kapal. "Habis bagaimana lagi senior, kesempatan kerja makin sempit sedang persaingan kian ketat, baik di kapal ocean going atau kapal domestik," katanya menirukan.
Pengalaman pahit itu, menurut Andi, dewasa ini sudah biaya terjadi. Seorang perwira pelaut tapi terpaksa harus bekerja dibawah standar ijazahnya. Menurut dia, beberapa perusahaan kapal asing bahkan memperlakukan mantan cadet praktik di kapalnya dengan pekerjaan yang lebih rendah seperti juru mudik, oiler atau sejenisnya.
"Begitulah nestapa yang dialami para pelaut Indonesia saat ini. Sekolah dengan biaya mahal untuk menjadi perwira, tapi akhirnya harus menghadapi realitas pekerjaan yang dibawah standar," kilah Putra Makassar itu lagi.
Kasus yang tak kalah pilu dituturkan Doni, saat mau mengambil diklat di BP3IP Sunter Jakarta Utara. "Saat naik Go Jek menuju kampus, ternyata drivernya mengaku alumni kampus itu (BP3IP Sunter) dan memegang ijazah DP V," kata dia.
Doni tak menilai driver ojek online itu bukan profesi yang baik. Tapi, untuk menjadi driver ojol, sebenarnya tak harus mengambil ijazah DP V yang nota bene harus membayar dengan biaya mahal.
Bahkan Oni juga menambahkan, dia pernah menemukan pemegang ijazah DP III di kapal hanya menjadi juru mudi.
"Realitas itu harus mereka hadapi, karena memang sulitnya mencari pekerjaan sebagai pelaut. Jangankan di kapal asing dengan gaji Dolar AS, untuk naik di kapal domestik juga susah," cetus pelaut muda itu.
Berdasarkan pengalaman, Oni menambahkan pelaut yang hanya mengantongi BST (basic safety training) atau alumni DPM dari Kemenhub itu belum bisa bekerja di kapal. "Faktanya, masih sulit diterima bekerja di kapal. Artinya, mereka harus meng-up date lagi kemampuan teknisnya sebagai pelaut," papar Oni.
Fenomena surplus pelaut di Indonesia sebenarnya sudah bisa dilihat dari makin tingginya cadet yang belum bisa naik kapal. Ada ratusan cadet sulit mencari kapal, termasuk dari kampus pelaut negeri. Bisa dibayangkan, cadet dari kampus swasta tentu lebih sulit lagi.
Pantauan Bisnisnews.id di Kantor Imigrasi Jakarta Utara, setiap hari banyak pelaut yang mengurus dokumen kemimigrasian atau mencari kapal baik sebagai cadet atau pelaut profesional. Kawasan kantor Imigrasi Jakarta Utara menjadi "home based" para pelaut sebelum bekerja.
Hampir semua komunitas pelaut dan cadet dari berbagai kampus pelaut ada dan berkumpul di daerah kantor Imigrasi Jakarta Utara itu. Aan, mantan taruna STIP Jakarta mengaku, dia dan teman-temannya dulu sampai 6 bulan belum bisa naik kapal untuk pratik laut (Prala). "Masalahnya klasik, space kapal bagi cadet semakin sempit. Kita harus berebut untuk bisa ikut berlayar memenuhi ketentan kuriulum diklat di kampus," aku Aan.
Seorang dosen/ instruktur di kampus pelaut Jakarta mengatakan, banyak taruna turun kapal (prala) yang belum paham tata kelola dan pekerjaan praktis di kapal. "Pertanyaan yang mereka ajukan sangat sepele dan itu mengindikasikan mereka memang belum paham," kilah dia.
Usut punya usut, menurut instruktur ini, cadet tersebut hanya praktik 8 bulan. Sedang teman lainnya 10 bulan di kapal. "Tapi, buku pelaut mereka tercatat praktik laut selama setahun. Tak tahulah, siapa yang tidak jujur disana," urai pelaut senior itu.
50.000 Pelaut Nganggur
Sementara, pelaut senior Capt. Achmad Subaidi dan Direktur Nautical Institute Indonesia mengatakan, akhir tahun 2017 lalu dia sudah mempresentasikan sekitar 50.000 pelaut Indonesia menganggur, termasuk mereka di level perwira.
Menurutnya, jumlah itu diperoleh dari jumlah pelaut yang lulus sekitar 6.000-7.000 setahun dikurangi peluang kerja di kapal asing ditambah kapal domestik, ketemulah mereka yang tak diterima bekerja . Akumulasinya, dalam beberapa tahun sampai Desember 2017 sebanyak 50.000 pelaut yang belum bisa diterima bekerja di kapal tersebut.
"Memang data itu belum di-up date sampai sekarang. Tapi, dari berbagai data dan realitas yang dilihat dua tahun belakangan, diduga jumlah pelaut yang menganggur makin tinggi," kata Capt. Subaidi.
Menurut dia, perekonomian dunia belum terlalu menggembirakan. Ditambah harga komoditas seperti batubara, timah, nickel sampai minyak mentah dunia turun. "Implikasinya, kebutuhan kapal untuk angkutan logistik di dunia termasuk Indonesia juga turun," kilah Capt. Subaidi.
Dikatakan, perwira pelaut dari tiga kampus besar seperti STIP Jakarta, PIP Semarang dan PIP Makassar yang dalam kurun waktu 6 bulan setelah lulus langsung bekerja di kapal kurang dari 50%. Rata-rata pelaut lulus dan selesai urus administrasi sampai menerima ijazah sehingga siap kerja butuh waktu dua bulan. "Jika memang bagus, mereka bisa langsung bekerja di kapal," sebut Capt. Subaidi.
"Informasi yang beredar, tingkat penyerapan pelaut dari STIP Jakarta kurang dari 50%. Apalagi kapal laut yang grade serta jaringan alumninya dibawah STIP Jakarta, pasti lebih rendah lagi," papar Capt. Subaidi.
Sebelumnya, pelaut senior Capt. Agus Salim yang juga pejabat di anak perusahaan Pertamina mengatakan, jika setiap tahun ada 3.500 pelaut dari sekolah negeri di Indonesia, yang terserap pasar dibawah satu tahun kurang dari 50%.
"Apalagi, yang berhasil diterima di kapal-kapal asing lebih kecil lagi, yaitu kurang dari 10%," kata pelaut alumni PIP Makassar itu.
Realitas ini, menurut Capt. Salim hendaknya tidak disikapi dengan negatif apalagi dianggap angin lalu. Ini realitas yang harus dihadapi dan diselesaikan bersama.
Sebaliknya harus menjadi cambuk dan masukan untuk bekerja lebih baik lagi. "Mulai dari kampus, pendidikan dan kaulitas taruna ditingkatkan. Kompetensi teknis serta penguasaan Bahasa Inggris-nya ditingkatkan. Dengan begitu, mereka makin siap masuk ke pasar global," urai Capt. Salim.
Menurut dia, kemampuan Bahasa Inggris kata kunci bagi pelaut untuk masuk ke pasar global. "Sebelum mereka bekerja bahkan saat rekrutmen calon pelaut, yang dicek pertama kali adalah kemampuan Bahasa Inggrisnya. Jika bahasa asingnya jelek, maka langsung di-drop," kilah Capt. Salim.
Dia menambahkan, pola pendidikan dan kapasitas pendidikan pelaut harus ditata ulang. Kurikulum di-up date sesuai dinamika dan kebutuhan pasar, dan kualitas diklat ditingkatkan. Link and match dengan dunia usaha benar-benar optimal, sehingga para alumni sekolah pelaut profesional dan siap kerja.
"Mereka dibekali dengan ketrampilan teknis sebagai pelaut profesional. Selain ini juga bekal nonteknis yang memadahi, dan tentunya sikap dan perilaku yang baik di tempat kerja nanti," tegas Capt. Salim.(helmi)