Pelaku Korupsi Pejabat Kementerian PUPR Terancam Hukuman Mati
Minggu, 30 Desember 2018, 12:13 WIBBisnisnews.id - Pelaku korupsi proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di kawasan bencana gempa tsunami Palu dan Donggola yang melibatkan pejabat Kementerian Pelerjaan Umum dan Perumahan (PUPR) teranxam hukuman mati.
Alasan pemerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi, menurit Wakil Ketua Momisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, karena uang yang dikorupsi itu adalah proyek kanusiaan di daerah bencana Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah.
Pelaku korupai ini dinilainya audah sangat serakah dan keterlaluan, uang untuk proyek kemanusiaan masih saja dikorupsi.
Saat ini tim pentidik KPK terus mwmdalami, dan apabila para tersanfka terbukti menyalahgunakan dana proyek di kawasan bencana gempa tsunami Palu dan Donggala akan terancam hukuman mati.
Seperi tercantum dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dasar penetapan hukuman mati sesuai beleid dalam pasal di UU 31/1999 tentabg Tipikor akan diperdalam. Mana perbuatan yang masuk dalam jeratan hukuman mati sesuai pasal 2 UU Tipikor. Yaitu para pelaku korupsi bencana alam yang menyengsarakan hidup orang banyak.
Kalau mengacu kepada penjelasan pasal 2 UU 31/1999, sanksibterberat hukuman mati. Terutama perbuatan korupsi yang sangat menyengsarakan orang banyak.
"Kita lihat dulu dan di dalami kasusnya," kata Saut, Minggu (30/12/2018)
KPK menetapkan delapan tersangka kasus korupsi proyek pembangunan SPAM. Dari delapan orang yang ditetapkan, empat diantaranya pejabat Kementerian PUPR yang dijerat sebagai tersangka penerima suap.
Yakni, Anggiat Simaremare selaku Kepala Satuan Kerja Sistem Penyediaan Air Minum Strategis Lampung; Meina Woro Kustinah selaku PPK SPAM Katulampa; Teuku Moch Naza selaku Kepala Satuan Kerja SPAM Darurat; dan Donny Sofyan Arifin selaku PPK SPAM Toba 1.
KPK juga menjerat empat tersangka dari pihak swasta sebagai tersangka pemberi suap, yakni Direktur PT Wijaya Kusuma Emindo, Lily Sundarsih Wahyudi; Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo, Budi Suharto; Direktur PT Tashida Perkasa Sejahtera, Irene Irma; dan Yuliana Enganita Dibyo selaku Direktur PT Tashida Perkasa Sejahtera.
Dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan, "setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Di Pasal 2 ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam 'keadaan tertentu' pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. (Jam)