Pesimis, Paket Kebijakan Ekonomi Ke 15 Berjalan Mulus
Senin, 17 Juli 2017, 19:50 WIBBisnisnews.id - Peneliti senior dari Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap menilai, kebijakan paket ekonomi ke-15 itu sulit diterapkan bila Menneg BUMN Rini Soemarno masih menekan BUMN dalam mencari untung besar.
Apa yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan ekonomi, kata Muchtar hanya pencitraan. Kecuali apabila Menneg BUMN mengembalikan BUMN pada tujuan semula, yaitu sebagai public service dan bukan mencari untung.
Kata Muchtar, perusahaan negara dalam mencari untung tidak diharamkan, namun harus lebih memprioritaskan kepada pelayanan, memberikan fasilitas kepada stakeholder, dan bukan sebaliknya.
Walau diakui, paket kebijakan ekonomi ke-15 berfokus ke masalah kelancaran logistik untuk mendorong peningkatan daya beli, sebenarnya tujuannya cukup bagus, namun dirinya pesimis dapat diwujudkan secara utuh.
"BUMN ditargetkan untung, akhirnya berusaha mencari untung dengan membentuk anak usaha yang tugasnya mencari uang, sehingga terjadi persaingan yang tidak sehat. Makanya biaya logistik kita mahal, dan yang bikin mahal adalah BUMN dan anak usahanya," jelas Muchtar pada Bisnisnews.id, Senin (17/7/2017) saat dimintai pendapatnya seputar paket kebijakan ekonomi ke-15 yang fokus ke masalah logistik.
Seperti diketahui, pemerintah melalui kebijakan paket ekonomi ke-15, salah satu fokusnya memangkas mata rantai logistik berbiaya tinggi, mendorong daya saing penyedia jasa logistik nasional, sehingga mampu mengimbangi negara-negara ASEAN.
Paket kebijakan ekonomi itu juga diharapkan mampu menaikkan daya beli masyarakat dengan memperkuat logistik nasional. Karena biaya logistik menyumbang 40 persen dari ritel barang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebelumnya mengatakan, komponen terbesar logistik atau sekitar 72 persen adalah biaya transportasi.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan, kebijakan yang telah diluncurkan pemerintah itu tidak akan sampai ke tujuan bila implementasi di lapangan tidak sinkron.
Syarkawi mengakui gerak kiprah BUMN dan anak-anak usahanya yang dibentuk untuk mencari keuntungan namun tidak mau bekompetisi secara sehat dengan swasta sehingga memberikan kontribusi besar terciptanya persaingan tidak sehat. Ini berpengaruh besar terhadap tujuan paket ekonomi ke-15 yang menginginkan terjadinya persaingan sehat, kelancaran distribusi barang dan meningkatkan daya beli masyarakat.
"Keberadaan anak-anak usaha BUMN, seperti terjadi di Bandar Udara Angkasa Pura I dan II, berpotensi terjadinya biaya tinggi logistik. Yang dilakukan KPPU mengawal kebijakan ekonomi ke-15 ialah menerapkan pengawasan melekat kepada seluruh pelaku usaha," kata Syarkawi.
BUMN dan anak usahanya termasuk swasta yang tidak bisa bersaing secara sehat dan berdampak kepada persaingan usaha tidak sehat, menimbulkan biaya tinggi dan merupakan bentuk penjegalan terhadap paket kebijakan ekonomi ke-15 yang telah diluncurkan pemerintah
"Kami sendiri sangat apresiasi kepada pemerintah yang telah meluncurkan paket kebijakan ekonomi ke-15, karena di dalamnya ada soal persaingan yang sehat pada seluruh pelaku usaha. Tugas kami adalah mengawasi," tegas Syarkawi.
Komitmen pemerintah, kata Syarkawi, bagaimana mendorong persaingan usaha yang sehat di berbagai lini termasuk sektor logistik. KPPU menindak lanjuti itu dengan mengambil tindakan tegas kepada pelaku usaha nakal.
KPPU juga akan mendalami soal posisi anak-anak usaha BUMN yang tiba-tiba ada di tengah-tengah antara swasta yang telah terikat kontrak dengan induknya. Jangan sampai keberadaannya itu justru memicu biaya tinggi, karena hal itu sudah sangat berseberangan dengan kebijakan paket ekonomi ke-15.
"BUMN boleh saja membentuk anak usaha, swasta juga punya peluang untuk bangun usaha, karena paket ekonomi ke-15 juga mendukung itu tapi harus sehat, tidak boleh ada monopoli di dalamnya, yang membuat biaya logistik jadi lebih mahal," jelasnya.
Syarkawi mengakui, implementasinya di lapangan berbeda. "Kami sangat apresiasi karena kompetisi adalah satu-satunya cara untuk meningkatkan efesiensi, mendorong produktivitas yang tinggi, jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
"Saya kira paket kebijakan ekonomi ke-15 ini bila dilaksanakan secara jujur, sungguh-sungguh sampai ke level bawah, maka pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen benar-benar akan terwujud," jelas Syarkawi.
Porsi biaya logistik berkontribusi sekitar 40 persen dari harga ritel barang dan komponen terbesar dari logistik atau sekitar 72 persen bersumber dari biaya transprotasi. Kalau pengelolaannya kurang tepat, akan berimbas ke hilir. Tujuan utama paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah tidak akan terwujud.
Data Laporan 2016
Berdasarkan data Bank Dunia yang menyusun ranking global Logistics Performance Index (LPI) 2016 yang membandingkan 160 negara. Indonesia menduduki peringkat ke-63 dunia dengan total skor 2,98. Jauh di bawah negara tetangga Singapur (peringkat ke-5) dan Malaysia (peringkat ke-32). LPI didasarkan pada survei operator di seluruh dunia (pengirim barang global dan operator ekspres) yang memberikan umpan balik mengenai "keramahan" logistik dari negara tempat mereka beroperasi dan mereka yang melakukan perdagangan.
Sedangkan dalam Laporan Indeks Logistik 2016 untuk Pasar Negara Berkembang yang dirilis Agility dan Transportation Intelligence, Indonesia tergelincir ke peringkat ke-7 karena kurangnya infrastruktur, miskin sistem prosedur dan korupsi. (Syam S)