Sektor Minyak Indonesia Kehilangan Kilaunya
Selasa, 15 Agustus 2017, 21:46 WIBBisnisnews.id - Sektor minyak mengalami kemunduran meski permintaan energi melonjak. Pemerintah berjuang mengatasi pendapatan energi menurun dan meningkatnya impor bahan bakar. Mengeringnya investasi dan eksplorasi, harga tidak stabil, birokrasi berbelit menjadi penyebabnya.
Hal ini dikarenakan penurunan harga global, perubahan peraturan dan persaingan dari negara tetangga yang terbukti lebih menarik bagi perusahaan energi internasional, akhirnya pemerintah menghadapi penurunan pendapatan minyak dan terus meningkatnya impor bahan bakar.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5 persen dan pemerintah memulai pembangunan infrastruktur, sektor industri minyak dan gas bumi mengalami penurunan padahal lima tahun lalu masih menyumbang hampir 6 persen dari produk domestik bruto negara. Namun tahun lalu hanya menyumbang 3 persen.
"Tampaknya ada kekurangan visi jangka panjang," kata Tony Regan, konsultan minyak dan gas independen berbasis di Singapura. "Tampaknya lebih menerima produksi minyak menurun daripada mengubah itu."
Investasi untuk eksplorasi di Indonesia menyusut menjadi 100 juta dolar pada tahun 2016 dari 1,3 miliar dolar pada tahun 2012, menurut data pemerintah. Kurang suksesnya pengeboran dan isu komersil telah melemahkan dan pembelanjaan pemerintah cenderung menurun, kata Johan Utama, analis minyak Asia Tenggara di Wood Mackenzie.
OPEC
Pada masa itu, Indonesia memompa sekitar 1,5 juta barel minyak per hari dan pada tahun 1997, menjadi tuan rumah pertemuan menteri perminyakan dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Sekarang Indonesia telah mengajukan permohonan bergabung kembali OPEC setelah berada di luar kelompok tersebut selama hampir delapan tahun terakhir. Pedagang minyak dan eksekutif mengeluhkan kelangkaan eksplorasi dan investasi stagnan di Indonesia. Sebagian disebabkan oleh turunnya harga minyak dari 2011 hingga pertengahan 2014, ketika minyak mentah rata-rata di atas 100 dolar per barel. Sekarang kurang dari setengah harga sehingga mempengaruhi keputusan investasi di seluruh dunia.
"Indonesia memiliki reputasi sebagai tempat yang sulit untuk melakukan eksplorasi dan pengembangan, bukan karena potensinya, tapi lebih karena sulitnya mendapatkan persetujuan dan perizinan untuk terus maju," kata Regan.
Setelah 2 tahun penurunan harga minyak, biaya eksplorasi dan produksi di seluruh dunia diperkirakan meningkat 3 persen tahun ini, menjadi sekitar 450 miliar dolar, menurut Utama. Dan beberapa tetangga Indonesia telah memimpin.
"Kami mengharapkan lonjakan investasi sehat dalam waktu dekat di Brunei, India, Malaysia, dan Vietnam. Total belanja hulu untuk Malaysia pada 2018 diperkirakan akan tumbuh sekitar 20 persen dibanding 2017," kata Utama.
Utama mengatakan hingga empat rig lepas pantai mungkin aktif di Indonesia pada semester pertama 2017 dibandingkan 19 rig pada 2013-2014. "Gambaran keseluruhannya adalah penurunan produksi," katanya.
Penurunan tersebut juga mengurangi kontribusi industri terhadap kas negara Indonesia. Satu dekade yang lalu, minyak dan gas menyumbang seperempat pendapatan pemerintah. Tahun lalu sempat turun menjadi 3 persen.
Rencana Pemerintah
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan mengatakan pada bulan April untuk melakukan ekspansi dan memikat investasi sebesar 200 miliar dolar selama dekade berikutnya, serta menawarkan insentif seperti peralatan pengeboran bebas pajak dan pemulihan biaya lebih sederhana termasuk merevisi struktur pajak.
Dia mengatakan BUMN Pertamina menghabiskan miliaran dolar untuk meningkatkan kapasitas produksi, penyulingan dan output minyak mentah Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta barel per hari pada 2019, dari sekitar 800 ribu barel sekarang.
Namun para eksekutif minyak mengatakan bahwa beberapa reformasi telah mengurangi daya tarik investasi eksplorasi Indonesia. Awal tahun ini, pemerintah mengumumkan telah mengakhiri sistem mengganti biaya kontraktor terkait eksplorasi dan produksi. Setiap transaksi baru, kontraktor yang menanggung semua biaya produksi.
Jonan mengatakan bahwa selama bertahun-tahun orang telah menyalahgunakan sistem pemulihan biaya dan peraturan baru tersebut memastikan kembalinya minyak Indonesia yang lebih adil. "Saya mencoba bersikap adil terhadap bisnis dan masyarakat yang memiliki sumber daya," kata Jonan.
Utama mengatakan peraturan baru tersebut dimaksudkan untuk mempercepat persetujuan dan mendorong operator menghemat biaya, namun mungkin membuat Indonesia kurang menarik bagi perusahaan minyak global. Lingkungan peraturan yang terus berubah menggambarkan Indonesia sebagai tempat yang tidak stabil untuk eksplorasi, katanya dikutip dari Bloomberg.
Investasi di hulu migas pada semester pertama tahun ini adalah 4 miliar dolar, menurut pengumuman pemerintah pekan lalu, dibandingkan dengan target setahun penuh sebesar 22,2 miliar dolar.
Exxon pergi
Exxon Mobil Corp. menarik diri dari proyek gas alam Natuna Timur, sehingga perusahaan BUMN Pertamina sendirian mengembangkan satu ladang terbesar itu. PTT Exploration & Production Plc Thailand juga menarik diri dari proyek tersebut. Menteri Jonan mengatakan bahwa Natuna Timur memerlukan dana sebesar 56 miliar dolar untuk pengembangan.
Kementerian ESDM mengatakan menerima surat dari Exxon yang menyatakan bahwa lapangan tersebut tidak layak secara ekonomi.
Bahkan jika pemerintah mencapai target peningkatan produksi, itu tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan energi yang terus meningkat di Indonesia. Pemerintah telah mengimpor 500.000 barel minyak mentah per hari, menurut Wood Mackenzie, memperkirakan total permintaan Indonesia akan tumbuh menjadi 1,9 juta barel per hari pada 2022.
"Indonesia sekarang merupakan pengimpor minyak bersih dan akan berpotensi menjadi pengimpor bersih gas pada tahun 2020," kata Sacha Winzenried di PricewaterhouseCoopers Indonesia yang mengkhususkan diri bidang energi, utilitas dan pertambangan. "Ini adalah perubahan dari 20-30 tahun lalu."
Survei PwC terhadap lebih dari 50 perusahaan yang terlibat dalam industri minyak dan gas di Indonesia mengidentifikasi lingkungan investasi yang stagnan dan kekhawatiran komitmen pemerintah terhadap kontrak yang ada.
"Penentuan harga penting tapi bukan masalah utama bagi orang-orang yang berinvestasi di Indonesia," kata Colin Singer, ketua konsultan energi TIGA-I denganpengalaman 30 tahun di industri minyak Indonesia. Sebaliknya, kurangnya minat pemerintah melaksanakan segala bentuk eksplorasi dan infrastruktur buruk merupakan faktor kunci yang menahan industri ini kembali.
"Orang yang rela melakukan eksplorasi telah diabaikan," katanya.(Marloft)