Sengketa Lahan UTA'45, Terdakwa Akui Menahan Sertifikat
Jumat, 03 Mei 2019, 02:05 WIBBisnisnews.id - Tedja Widjaja terdakwa kasus sengketa lahan milik Yayasan Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Uta'45) pada sidang lanjutan di PN Jakarta Utara Kamis (2/5/2019) mengakui dirinya masih memegang sertifikat induk.tanah seluas 40.000 meter m2 milik Yayasan.
Di hadapan Majelis Hakim, terdakwa juga menjelaskan, setelah dilakukan pemecahan sertifikat, luas lahan yang tersisa di dalam sertifikat itu hanya sekitar 8.000 m2.
Menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fedrik Adhar terkait masih ditahannya sertifikat tersebut, terdakwa beralasan, pengurus Yayasan UTA'45 sekarang ini sudah berbeda.
“Saya memang tidak mau mengembalikan sertifikat tanah itu ke Yayasan UTA 45. saya tahan terus karena saya tidak mau sertifikat itu jatuh ke pengurus Yayasan UTA 45 yang sekarang ini,” kata terdakwa Tedja Widjaja.
Terdakwa juga mengakui, hanya berhak atas beberapa sertifikat yang sudah dipecah dari sertifikat induk itu fan sisanya bukan miliknya.
“Saya tahu, saya hanya berhak atas beberapa sertifikat yang sudah dipecah dari sertifikat induk itu, tetapi saya tidak mau menyerahkannya ke Yayasan UTA 45 dengan pengurus seperti saat ini,” ujar terdakwa.
JPU Fedrik juga mempertanyakan, bagaimana terdakwa melakukan pembayaran atas tanah Yayasan UTA 45 sampai puluhan miliar rupiah tanpa sepucuk kwitansi? Melainkan hanya berdasarkan surat pernyataan dan akta-akta serta transfer saja.
Padahal, sebagian besar dari akta-akta dan surat keterangan itu disebutkan saksi fakta di persidangan sebagai hasil rekayasa bahkan dipalsukan oleh terdakwa Tedja Widjaja sendiri.
Menjawab pertanyaan itu, terdakwa mengaku terintimidasi dan ditekan pihak yayasan.“Saya merasa sudah cukup surat pernyataan dan akta-akta itu sebagai dasar hukum transaksi pembelian tanah tersebut,” kilah terdakwa.
Mengenai bank garansi yang sedianya dibuat untuk pembayaran tanah Yayasan UTA 45, namun tidak kunjung dibuat terdakwa hingga kasusnya disidangkan di PN Jakarta Utara, terdakwa berkilah, bank garansi yang sebelumnya disepakati dibuat dengan Yayasan UTA 45 itu hanyalah halusinasi, fiktif dan ditandatangani secara sepihak saja.
JPU juga menanyakan soal pengakuan notaris adanya akta jual beli yang bermasalah dan apakah terdakwa menyadari efek negatif atas perbuatan itu ?
“Biarlah hukum yang memutuskan apakah itu salah atau benar,” jawab terdakwa.
Usai sudang, JPU Fredrik kepada awak media menjelaskan, karena sikap terdakwa seperti itu menjadi penyebab munculnya dugaan tindak pidana penggelapan.
“Dalam hal inilah terjadi dugaan tindak pidana penggelapan,” tutur Fedrik. (Eni)