Skandal Korupsi Goyang Fondasi Pemerintahan
Kamis, 16 Maret 2017, 23:56 WIB
Bisnisnews.id - Lembaga anti korupsi mengklaim bahwa politisi telah menggelapkan 173 juta dolar dari negara dan merupakan penipuan terbesar yang pernah digelapkan DPR. Setya Novanto diyakini bisa menyelinap lolos kali ini, jika jaksa tidak dapat memberikan bukti yang jelas manfaat langsung yang ia terima dari alokasi anggaran.
Sudah rahasia umum bahwa DPR mengambil bayaran dan insentif lainnya untuk melumasi jalan legislasi dan mempengaruhi pejabat kunci. Oleh lembaga global Transparency International, DPR dilabeli sebagai lembaga paling korup di Indonesia.
Skandal terbaru di mana Ketua DPR dan Ketua Partai Golkar Setya Novanto, Menteri Kehakiman Yasonna Laoly dan 37 anggota parlemen muncul dalam daftar panjang tokoh politik yang diduga menggelapkan Rp2,3 triliun dari total Rp5,9 triliun untuk proyek kartu identitas elektronik (e-KTP).
Komisi Anti-Korupsi (KPK) telah menyebut skandal ini sebagai perampokan besar-besaran APBN, dengan keterlibatan tingkat tinggi yang terungkap di dakwaan KPK pekan lalu, menyeret 2 pejabat senior kementerian dalam negeri. Novanto dan Laoly telah membantah keterlibatannya.
Jika terbukti, skandal ini akan mengalahkan kasus korupsi DPR terbesar sebelumnya, senilai Rp1,4 triliun dari proyek kompleks olahraga Hambalang pada tahun 2012, yang menyebabkan mantan menteri olahraga Andi Mallerangeng dan mantan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum dipenjara.
Urbaningrum dan mantan bendahara Demokrat Muhammad Nazaruddin, juga menjalani masa tahanan dari kasus Hambalang. Keduanya juga terlibat dalam dakwaan e-KTP 122 halaman, bersama dengan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Menurut KPK, dana proyek e-KTP disiapkan jauh sebelum tender 6 tahun yang lalu, dengan setidaknya 60 anggota DPR menerima aliran dalam rupiah bercampur dolar AS untuk memperlancar anggaran.
Dana konspirasi ini diduga mengalir tidak hanya untuk 9 dari 10 partai politik dan 12 pejabat senior Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga jaringan pengacara, broker dan konsorsium bisnis yang akhirnya memenangkan tender.
Jaksa mengklaim Novanto, Urbaningrum dan Nazarrudin masing-masing menerima Rp574.2 miliar, Pranowo 520 ribu dolar dan Laoly, kemudian salah satu dari 37 legislator dari komisi urusan rumah tangga sebesar 84 ribu dolar.
Sisa jarahan termasuk Rp261 juta diperuntukkan bagi Perwakilan komisi urusan rumah tangga; Rp365.4 miliar untuk Kementerian Dalam Negeri; dan Rp783 miliar untuk apa yang disebut dalam dakwaan sebagai hasil keuntungan pekerjaan.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Demokrat adalah partai penerima terbesar di antara semuanya, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang apa yang ia ketahui tentang asal-usul uang yang membanjiri pundi-pundi partai.
Urbaningrum, Ketua DPR Marzuki Alie, dan 5 pejabat partai semua dikatakan telah menerima bagian dari Rp150 miliar dan diberikan kepada Demokrat, yang telah menjadi partai besar setelah pemilu legislatif 2009 .
Partai Golkar juga mendapat bagian Rp150 miliar lewat 6 anggota parlemennya.
Sedangkan mantan presiden Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDI-P) menggaruk Rp80 miliar melalui Laoly, Pranowo dan 2 anggota lain komisi urusan rumah tangga dan anggaran.
Presiden Joko Widodo, catatan bersihnya bisa ternoda oleh kakak iparnya yang terlibat sebagai perantara kasus ini, karena sang ipar memiliki hubungan dekat dengan Novanto dan keanggotaan Laoly di PDI-P.
Surat dakwaan itu dikeluarkan hanya beberapa hari setelah Transparency International mencatat dalam survei korupsi global terbaru yang menyatakan bahwa 65% orang Indonesia percaya korupsi semakin memburuk di tahun 2016, merupakan tahun kedua dari 5 tahun pemerintahan Presiden Widodo.
Angka KPK menunjukkan 122 anggota DPR, DPRD dan 14 hakim telah ditangkap karena korupsi dalam 2 tahun terakhir. Tapi laporan terpisah dari Indonesia Corruption Watch mengatakan bahwa PNS sebenarnya pelanggar terburuk di 2013-2016.
Novanto sendiri telah lolos dari serangkaian tuduhan korupsi di masa lalu yaitu penjarahan Bank Bali pada tahun 1999, yang pada saat itu mengancam program rekapitalisasi Indonesia akibat krisis keuangan Asia 1997-1998.
Politisi kelahiran Bandung ini kemudian banyak memberitahu tentang kehidupan politik di Indonesia, di mana uang, pengaruh dan jaringan terus menang atas kepentingan publik selama 18 tahun, setelah jatuhnya diktator Suharto dan kelahiran demokrasi.
Banyak warga tidak mengerti bahwa uang merekalah yang dicuri. Tapi itu mungkin karena hanya 12 persen dari 170 juta rakyat yang kuat membayar pajak. Pajak amnesti pemerintah yang berakhir pada 31 Maret telah menarik 27.000 wajib pajak baru, namun itu hanyalah setetes air dalam ember.
Novanto dipaksa mengundurkan diri dari DPR di Desember 2015 atas penyadapan yang menunjukkan persekongkokolan dengan gembong minyak, Muhammad Reza Chalid untuk memeras Freeport McMoRan Copper & Gold.
Tapi 5 bulan kemudian, Menteri Koordinator Politik Luhut Panjaitan, yang bekerja sama dengan Novanto untuk membawa Golkar keluar dari oposisi dan masuk koalisi dengan PDI-P, serta memuluskan jalannya menjadi pimpinan Golkar.
Hal tersebut dan indikasi Golkar akan mendukung upaya pemilihannya kembali di tahun 2019, memberinya lebih banyak pengaruh atas pemimpin PDI-P, Megawati Sukarnoputri, yang terus memperlakukannya seperti fungsionaris partai ketimbang pemimpin negara.
Redempsi Novanto ini telah diselesaikan Januari lalu ketika ia memenangkan kembali kursi pimpinan DPR dari Ade Komarudin. Sebuah langkah yang tidak disambut publik, tetapi didorong oleh Megawati dan Presiden sendiri.
Bahkan, menurut orang dalam Golkar, Widodo menugaskan Menteri Koordinator Politik yang baru, Wiranto, untuk mewujudkan perihal Novanto ini. Terutama setelah Komarudin terlihat nyaman dengan alumni Golkar dari Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia, yang memainkan peran utama dalam protes massa November lalu dalam melawan Gubernur Jakarta Basuki Purnama .
Salah satu tokoh senior Golkar mengatakan, Komarudin bahkan siap untuk membuka gerbang DPR untuk demonstran, hal ini terkesan seperti masa kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Widodo yang tidak senang, menduga para demonstran juga menargetkan dirinya.
Novanto diyakini bisa menyelinap lolos kali ini, jika jaksa tidak dapat memberikan bukti yang jelas manfaat langsung yang ia terima dari alokasi anggaran.
Ia telah memprotes tidak bersalah. Novanto muncul mendadak di kantor redaksi Tempo, sehari sebelum surat dakwaan diketahui publik di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia sudah membaca ringkasan 2 halaman dakwaan, mengatakan bingung kepada editor: " Ya, itu cukup bagi kita untuk berdoa pada saat ini."
Dia mungkin memang harus banyak berdoa dalam beberapa bulan mendatang akibat skandal terkenal ini. (John McBeth/Asia Times/Tim BN)