Solusi Pancasilais Untuk Hindari Nasionalis Abal-Abal
Rabu, 08 Maret 2017, 17:55 WIBBisnisnews.id - Kemelut negosiasi Kontrak Karya Freeport Indonesia di Papua yang akan berakhir pada tahun 2021 mendatang, tentu sarat menyimpan misteri dan sarat membungkus perilaku korup dari pejabat negara ini dan mantan pejabat yang berkuasa. Teriakan nasionalis yang diusung dianggap menguntungkan asing karena pemerintah gagal paham tentang kondisi dan realita.
Untuk memahami lebih dalam tentang KK Freeport dan solusi yang Nasionalis dan Pancasilais untuk mengakhiri ketidakadilan yang terjadi di Papua, Ferdinand Hutahaean, Direktur Energy Watch Indonesia, dalam wawancaranya via Whatsapp hari ini dengan Bisnisnews telah menguraikan 3 titik krusial dan menjadi kontroversial dalam pengambilan keputusan dan kebijakan.
Titik pertama menurut Ferdinand adalah dasar hukum kontrak yang hingga saat ini menggunakan UU PMA 1967 dan belum dirobah menjadi UU Minerba 2009.
Selain itu Ferdinand juga menyinggung titik lainnya soal status kontrak yang Lex Spesialis, " Maksudnya adalah apapun ketentuan yang baru lahir dalam pemerintahan, tidak serta merta berlaku bagi implementasi kontrak karya."
Ferdinand menambahkan titik krusial terakhir dimana UU Minerba yang mengatur negosiasi kontrak hanya boleh dibahas 2 tahun sebelum kontrak berakhir, namun dalam KK Freeport pasal 32 dinyatakan Freeport bebas mengajukan permohonan perpanjangan kapan saja.
Namun demikian, Direktur Energy Watch Indonesia yang juga merupakan pimpinan Rumah Amanah Rakyat juga mengusulkan 3 skenario dalam penyelesaian polemik kontrak Freeport.
Pertama, Ferdinand mengangkat opsi solusi amandment kontrak karya (evolusi). Amandment KK Freeport bertujuan untuk mengganti dasar hukum kontrak dari UU PMA 1967 menjadi UU Minerba 2009.
" Negosiasi perlu dilakukan dari sekarang. Kita akan kehilangan keberuntungan jika menunda nunda negosiasi hingga 2019. Kita mesti hati2 terhadap kemunculan para nasionalis abal-abal yang tidak menginginkan negosiasi dari sekarang," kata Ferdinand.
Menurut Ferdinand, secara psikologis pemerintahan pada 2019 juga akan melemahkan daya negosiasi terhadap Freeport dan mungkin Freeport akan membaca situasi politik terlebih dulu sembari menunggu presiden baru. Atau bisa saja incumbent akan menjadikan negosiasi kontrak dengan dibarter sokongan dana siluman untuk pilpres, tentu ini berbahaya.
" Kita juga akan kehilangan keberuntungan dari sektor pembangunan smelter yang tertunda karena tidak jelas kapan akan dibangun. Negosiasinya saja baru 2019 paling cepat mencapai kata sepakat (kalau sepakat) 2020, artinya smelter baru mulai 2021 dan selesai 2025. Dengan menunda negosiasi maka ada 10 tahun lagi waktu bagi Freeport untuk ekspor bebas tanpa pemurnian. Dengan kondisi itu tentu negara yang dirugikan, "jelasnya.
Ferdinand menyimpulkan," Intinya bahwa semua permintaan kita akan bisa kita ajukan setelah dasar hukum kontrak disepakati beralih ke UU Minerba 2009. Ini sangat penting dan sangat krusial. Dan akhir dari ini, bila Freeport menolak maka kita nyatakan dari sekarang kontrak karya Freeport berakhir dan berakhir pula operasinya di Papua pada 2021 mendatang setelah 50 tahun. Dengan demikian kita punya waktu yang cukup 5 tahun lagi untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengambil alih operasi tambang Freeport."
Opsi kedua adalah negosiasi baru kontrak di 2022 (soft revolution). Berakhirnya kontrak Freeport 2021, tentu akan mengembalikan seluruh wilayah tambang itu ke pangkuan indonesia 100%, maka bila Freeport ingin kembali mengelola SDA disana, pemerintah minta bikin joint venture (Perusahaan patungan) utk mengelola tambang Freeport dengan syarat pemerintah sebagai mayoritas saham. Dengan begitu maka control dan management ada di pemerintah sebagai pemilik sumber daya alam yang di Papua.
Atau kata Ferdinand, Freeport tetap dengan kondisi sekarang tetapi wajib menyerahkan sahamnya secara gratis kepada bangsa sebesar 51% sebagai syarat mutlak. Maka itu, rencana divestasi saham 20% yang akan dilakukan sebaiknya dibatalkan pemerintah.
" Untuk apa membeli saham Freeport dengan mahal jika 5 tahun lagi bisa miliki secara gratis? Pemerintah harus buka mata buka pikiran dan buka hati tentang ini, supaya kita melakukan revolusi lunak dalam rangka nasionalisasi sumber daya. Syarat tersebut tentu diikuti syarat lainnya, seperti kewajiban bangun smelter, pengelolaan limbah, penghormatan pada hak adat rakyat Papua dan lain lain yang kita pandang perlu."
" Maka bila skenario ini yang akan kita tempuh, maka kondisi Freeport kita terima berjalan seperti sekarang hingga tahun 2021, dan sebelum 2021 segala sesuatu tentang opsi kedua ini sudah jadi dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dan seperti opsi pertama diatas, bila Freeport tidak setuju maka kita salaman dan ucapkan selamat jalan," tandas Ferdinand.
Dan opsi terakhir dikatakan Ferdinand sebagai revolusi keras (hard revolution) dimana operasi Freeport berhenti pada 2021. Pemerintah dengan mengabaikan segala bentuk tekanan yang terjadi dan dengan semua bentuk lobby yang muncul menyatakan secara terbuka saat ini kepada Freeport atau menyurati manajemen Freeport bahwa terhitung mulai tahun 2022 pada saat kontrak karya Freeport berakhir 2021, maka kelanjutan operasi tambang di Papua selanjutnya akan dilakukan oleh Bangsa Indonesia secara penuh (100%). Dengan demikian Freeport dipersilahkan mengambil langkah2 mengosongkan tambang dari segala aktivitas Freeport terhitung berakhirnya kontrak.
Opsi ini memang sangat berat karena tentu Freeport akan butuh waktu sekitar 2 - 3 tahun untuk mengosongkan seluruh wilayah tambang dari aktivitas Freeport, membongkar peralatan kerja, supporting kerja dan lain lain dari lokasi.
" Inilah dampak buruk yang kita hadapi karena ada jeda waktu stop operasi yang memakan korban buruh berhenti kerja, produksi berhenti dan berakibat menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak dan royalti sektor tambang. Jeda waktu ini pun akan bertambah panjang karena tentu kita butuh waktu antara 3 - 5 tahun untuk kembali membangun fasilitas kerja, supporting dan peralatan kerja, serta butuh dana yang sangat besar untuk menyediakan seluruh fasilitas operasi yang nilainya mungkin lebih dari 10 miliar dolar kemudian ditambah biaya operasi sekitar 5 miliar dolar."
" Inilah dilema besar bagi kita bila Freeport kita berhentikan operasinya. Namun masalah ini bukan tidak ada solusi. Solusinya adalah pemerintah melakukan negosiasi dengan Freeport untuk mengakuisisi seluruh fasilitas operasi dan membayarnya kepada Freeport. Tentu negosiasi ini juga harus dilakukan dari sekarang supaya cukup waktu untuk menindaklanjutinya. Itupun dengan catatan Freeport bersedia menjualnya, atau bersedia menjual dengan harga tinggi," tutup Ferdinand. (marloft)