YLKI Usul Penerapan Kebijakan Gage di Jakarta Tak Boleh Setengah Hati
Selasa, 27 Agustus 2019, 12:23 WIBBisnisNews.id -- Perluasan ganj genap (gage) fi Kota Jakarta masih menjadi perdebatan para pengamat, praktisi serta pihaj lain yang berkepentingan. Ada yang pro bahkan minta di percepat. Namun ada pula yang menolak dan antipati, karena mengancam kelangsungan usaha mereka.
Lalu lintas di Jakarta makin crowded, dengan tingkat kemacetan yang makin parah. Selain kemacetan, kondisi teraktual, adalah kualitas udara di Jakarta yang kian pekat dengan polusi. Konon, polusi di Jakarta bertengger pada urutan kedua-ketiga sebagai kota terpolusi di dunia.
"Merujuk pada kondisi empirik seperti itu, maka perluasan area ganjil genap di Jakarta bisa dipahami. Implementasi ganjil genap di atas kertas bisa memangkas 40-45 persen jumlah kendaraan bermotor yang beredar di ruas jalan tersebut," kata Ketua YLKI Tulus Abadi di Jakarta.
Namun sebaliknya, kata dia, jika penerapannya hanya setengah hati, maka perluasan area ganjil genap tak akan efektif menekan kemacetan di Jakarta, dan tak akan mampu menekan tingginya polusi udara di Jakarta.
YLKI pun menyampaikan beragam alasan. "Pengecualian sepeda motor yang tak terkena ganjil genap, akan mendorong masyarakat pengguna roda empat bermigrasi/berpindah ke sepeda motor. Apalagi pertumbuhan kepemilikan sepeda motor di Jakarta mencapai lebih dari 1.800 per hari. Dan makin tingginya penggunaan ojol (ojek online)," kata Tulus.
Pengecualian sepeda motor, menurut YLKI, juga akan mengakibatkan polusi di Jakarta kian pekat, makin polutif. "Menurut data KPBB, sepeda motor berkontribusi paling signifikan terhadap polusi udara yakni: 19.165 ton polutan/hari di Jakarta bersumber dari sepeda motor sebesar 44,53%, mobil sebesar 16,11%, bus sebesar 21,43%, truk sebesar 17,7%, dan bajaj sebesar 0,23%," jelas Tulus.
Sementara, wacana pengecualian taksi online juga merupakan langkah mundur, bahkan merupakan bentuk inkonsistensi. "Pengecualian ini akan memicu masyarakat berpindah ke taksi online dan upaya mendorong masyarakat berpindah ke angkutan masal seperti Transjakarta, MRT, KRL/Commuter Line, dll; akan gagal," kilah Tulus.
Sementara, terkait upaya menekan polusi udara, papar Tulus, juga akan gagal manakala kendaraan di Jakarta masih gandrung menggunakan bahan bakar (BBM) dengan kualitas rendah. Seperti, sebut Tulus, jenis bensin premium dan atau bahan bakar dengan kandungan sulfur yang masih tinggi.
Dengan demikian, jika perluasan ganjil genap akan berdampak signifikan terhadap menekan kemacetan dan polusi udara di Jakarta. "Seharusnya sepeda motor juga diberlakukan sama untuk ganjil genap, setidaknya untuk jalan protokol seperti Jl. Sudirman, Jl. Thamrin, dan Jl. Rasuna Said. Apalagi selama ini pengguna sepeda motor belum pernah dibatasi/dikendalikan, sebagaimana pengguna roda empat," seru Tulus.
Taksi online, menurut YLKI, tetap diberlakukan sebagai obyek ganjil genap. Sebab pada dasarnya taksi online adalah angkutan sewa khusus berplat hitam, setara dengan kendaraan pribadi, kecuali taksi online mau berubah ke plat kuning.
BBM Berkualitas
Selanjutnya, YLKI mendorong kendaraan bermotor di Jakarta, baik roda empat dan atau roda dua, untuk menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan.
Menurut YLKI, kini sudah sangat pantas jika Kota Jakarta melarang penggunaan BBM jenis bensin premium bahkan pertalite.
"Dan mewajibkan kendaraan bermotor untuk menggunakan BBM standar Euro 4. Sebab hanya dengan BBM standar Euro 4, kualitas udara di Jakarta bisa diselamatkan," tegas Tulus.(helmi)