IATA Prihatin, Lonjakan Permintaan dan Infrastruktur Tidak Imbang
Sabtu, 10 Desember 2016, 10:20 WIB
Bisnisnews.id-The International Air Transport Association (IATA) masih merasa khawatir terhadap cepatnya angka pertumbuhan penumpang dan pasokan pesawat di kawasan Asia-Pasifik. Pasalnya, pasokan itu belum seimbang dengan ketersediaan infrastruktur.
Lonjakan permintaan pasar di level menengah begitu tinggi saat muncul penerbangan berbiaya murah oleh sejumlah perusahaan penerbangan. Para calon penumpang dari moda transportasi lain, tersedot ke udara dan ini juga terjadi di Indonesia dan yang paling terkena dampaknya adalah moda transportasi laut, yang kehilangan pasar hingga lebih dari 30 pesen.
IATA meyebutkan, pada 2015, penumpang pesawat udara di seluruh dunia tercatat 6,5 persen atau lebih banyak tahun 2014. Sedangkan di kawasan Asia-Pasifik mencapai 8,2 persen.
Sayangnya, tinggiya pertumbuhan ini tidak diikuti dengan pembangunan infrastruktur, sehingga menimbulkan keprihatinan IATA dan pemain industri lainnya. Komponen dasar seperti landasan pacu dan gerbang udara, serta jaringan kontrol lalu lintas udara (ATC) dan SDM yang terampil belum bisa menyaingi meningkatnya permintaan.
Menurut perkiraan IATA, dalam waktu 20 tahun, kawasan Asia-Pasifik akan mengalami jumlah kenaikan sebanyak 7,2 miliar penumpang di 2035, yang berarti naik 3,8 miliar dari tahun ini. Dalam rentang waktu yang sama, China juga diproyeksikan akan menyalip AS dalam pasar penerbangan terbesar di dunia, sementara India akan melampaui U.K. dan mengambil tempat nomor tiga dalam daftar tersebut.
Dalam World Financial Simposium yang diadakan di Singapura beberapa waktu lalu, Conrad Clifford, wakil presiden regional IATA Asia-Pasifik menyerukan agar pemerintah di seluruh wilayah Asia Pasifik lebih agresif merencanakan dan membangun pasar penerbangan di masa depan.
"Boeing mengalami kelangkaan 248 ribu pilot dan 268 ribu teknisi di wilayah Asia-Pasifik untuk 20 tahun ke depan," kata Clifford.
Intervistas, konsultan penerbangan untuk IATA juga melaporkan, banyak bandara terbesar di kawasan ini sudah mencapai kapasitas maksimalnya. Salah satunya adalah Bandara Beijing. Bandara tersibuk kedua di dunia setelah Atlanta ini telah mencapai kapasitas terminalnya pada 2013 dan diperkirakan landasan pacunya pun akan demikian di 2019.
Contoh lainnya adalah Bandara Hong Kong, ketiga terbesar di Asia, juga diproyeksikan akan mencapai kapasitas terminal dan runwaynya pada akhir tahun ini. Demikian juga bandara besar India di Mumbai dan New Delhi, diproyeksikan akan mencapai batas mereka masing-masing pada tahun 2018 dan 2021.
Dalam surat elektroniknya kepada Travel Weekly, Clifford menyesalkan bahwa infrastruktur yang tidak memadai telah mengganggu layanan udara di beberapa tujuan Asia Tenggara.
" Kami telah melihat penundaan penerbangan di Singapura, Manila, Jakarta dan Bangkok. Selain itu, bahan bakar dan biaya maskapai juga meningkat akibat menunggu saat take off/landing. Dan pada akhirnya, penumpang adalah orang yang paling menderita karena waktu terbuang, produktivitas hilang dan pengalaman jadi kurang menyenangkan akibat terminal terlalu padat," jelasya.
Direktur Asosiasi Asia Pacific Airlines, Andrew Herdman juga menyuarakan kekhawatiran tentang infrastruktur penerbangan di kawasan ini. Sentimen yang sama juga dinyatakan oleh Shukor Yusof, pendiri Endau Analytics, konsultan analisa penerbangan.
" Dalam pandangan saya, pemerintah - bukan hanya Cina tetapi juga Indonesia dan Vietnam, belum memiliki pandangan jauh untuk, pertama, menciptakan dan membangun lebih banyak infrastruktur, dan kedua, melatih SDM-nya," kata Yusof.
Walau demikian, negara-negara di seluruh wilayah Asia Pasifik sebenarnya tidak berdiam diri. Di Cina, Bandara Beijing yang baru dijadwalkan akan buka tahun 2019 dan menjadi bandara terbesar di dunia. Sedangkan 29 bandara lainnya juga mulai merencanakan perluasan.
Terminal keempat Bandara Changi Singapura dijadwalkan akan buka pada semester kedua tahun depan. Demikian juga pembangunan landasan ketiga dan terminal kelima tengah direncanakan.
Di Bangkok, Bandara Suvarnabhumi akan meningkatkan kapasitasnya dari 45 juta penumpang per tahun menjadi 65 juta, dan pemerintah juga sudah merencanakan pembangunan terminal baru serta perluasan landasan pacu.
Di India, di mana pasar penerbangan tumbuh 25 pesen pada tahun 2015, pemerintah memiliki rencana untuk membangun 200 bandara selama 20 tahun ke depan. Dan enam bandara yang memiliki masalah kapasitas akan diperluas di 2028.
Selain infrastruktur, ada upaya lain yang dilakukan yaitu memfasilitasi jaringan penerbangan Asia-Pasifik. Kolaborasi Cina dan AS, misalnya, dalam sebuah proyek percontohan yang dirancang untuk meningkatkan penggunaan wilayah udara di Bandara Xianyang di Xian guna mengurangi penundaan penerbangan.
" Masalah delay menjadi prioritas nomor satu bagi Administrasi Penerbangan Sipil China dalam kemitraan bilateral publik-swasta ini. China menyadari efisiensi wilayah udara dibutuhkan untuk mengatasi kendala perdagangan," kata Verinda Fike, yang mengawasi Badan Perdagangan dan Pengembangan AS.
AS telah memberikan banyak saran kepada penguasa China tentang praktek-praktek terbaik mengenai pengendalian wilayah udara di sekitar bandara. Fike juga menjelaskan bahwa nantinya maskapai AS akan semakin banyak memiliki akses ke Cina.
Yusof memuji upaya negara-negara seperti Singapura dan India untuk bersaing dengan lonjakan permintaan penerbangan komersial. Tapi ia mengkritisi beberapa negara lain, terutama Indonesia, negara berpenduduk 250 juta orang yang notabene akan menjadi salah satu dari 10 pasar penerbangan terbesar di dunia dalam dua dekade mendatang.
Bandara Soekarno-Hatta Jakarta memang telah membuka bagian pertama dari terminal 25 juta penumpangnya per tahun, tapi menurut Intervistas, rencana ekspansi untuk bandara over capacity lainnya malah tidak mengalami pergerakan yang berarti.
Yusof menyarankan, Indonesia perlu mengembangkan lebih banyak bandara, memiliki program jangka panjang yang tepat serta melakukan lebih banyak hal untuk mengatasi keselamatan penerbangan. " Kalau tidak, faktor tadi bisa mempengaruhi potensi pariwisata Indonesia dan kemampuan mereka untuk memperluas infrastruktur seiring dengan pertumbuhan. (marloft/syam).