Jasa Marga Klaim, Kerusakan Jalan di Jalur Tol Akibat Kendaraan Kelebihan Beban
Senin, 30 Juni 2025, 10:57 WIB
BISNISNEWS.id - Kerusakan ruas jalan tol yang terjadi pada jalur satu dan dua atau sebelah kiri, lebih diakibatkan pada kendaraan yang kelebihan muat, seperti pada ruas tol Jakarta - Cikampek dan Jakarta - Merak.
Penegasan itu sampaikan Direktur Utama (Dirut) PT Jasa Marga Rivan Achmad Purwantono menjawab pertanyaan awak media terkait seringnya kerusakan jalan tol, dalam bincang santai dengan awak media yang difasilitasi Kementerian Perhubungan, pada Kamis malam (26/6/2025) lalu.
Dikatakan, perbaikan ini terus dilakukan untuk menjaga standar pelayanan kepada pengguna jasa sekaligus keamanan dan kenyamanan pengendara .
Perbaikan yang terus menerus dilakukan, ungkap Rivan, bukan karena konstruksi jalan yang kurang bagus, tapi lebih diakibatkan beban kendaraan yang kelebihan muat alias
Over Dimensi Overload (ODOL).
Dijelaskan, kalau kerusakan akibat konstruksi jalan yang kurang bagus atau tidak memenuhi standar, izin operasi tidak akan diberikan, karena tidak lolos uji
Semua ruas tol, sebelum dioperasikan secara resmi dan berbayar, ruas tol tersebut sudah harus melewati beberapa tahapan, seperti tahap Uji Laik Fungsi (ULF), selanjutnya menunggi diterbitkannya Sertifikat Laik Operasi (SLO).
Kalau sudah lolos ULF dan mengantongi SLO, jalan tol tersebut baru resmi beroperasi dan berbayar. " Tahapan-tahapan itu wajib diikuti," ungkap Rivan.
Tahapan-tahapan tersebut, lanjut Rivan, bukan hanya dilakukan satu kementerian tapi beberapa kementerian dan lembaga. Yakni, Direktorat Jalan Bebas Hambatan dan Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, plus Korlantas Mabes Polri.
Sementara untuk SLO diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, sementara yang menjadi regulator jalan tol adalah Kementerian PU, yang mengatur didalamnya soal urusan tarif dan standar pelayanan minimal.
Pada sisi lain, Rivan juga menepis tudingan, kecelakaan beruntun di jalan tol yang menyebabkan korban jiwa akibat kondisi jalan.
Rivan mengatakan, kecelakaan lalu lintas di jalan tol 87 persen disebabkan faktor pengemudi yang kurang antisipasi, 34 persen sopir mengantuk.
Dijelaskan, berdasarkan data tahun 2025 terjadi kecelakaan sebanyan 406 kasus kecelakaan. Dari jumlah itu 96 kasus kecelakaan melibatkan truk angkutan barang.
Disebutkan 75 persen truk angkutan barang yang masuk ke jalan tol adalah over load. Hal ini juga yang menyebabkan kerusakan jalan tol di ruas bagian kiri, yaitu jalur satu dan dua.
Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Agus Suryonugroho mengaku sedih dengan kondisi saat ini. Ditegaskan, penindakan hukum terhadap truk ODOL bukan sesuatu yang menyenangkan tapi sangat menyedihkan.
" Penegakan hukum terhadap truk ODOL itu tidak menyentuh pengemudi, tapi pengusaha angkutan dan pemilik barang," tegas Irjen Agus, yang hadir dalam bincang santai.
Dijelaskan, semua aturan lalu lintas sudah ada dan tidak perlu ada aturan baru. " Kami hanya menjalankan aturan yang sudah ada, atiran hukum ini harus kami jalankan, sesuai amanah undang-undang," jelasnya.
Korban kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang mengakibatkan, cacat fisik, permanen, dan meninggal dunia cukup banyak, sudah saatnya dihentikan dan tidak bisa menunda lagi.
Tegakan Hukum
Pemerhati Transportasi, Muhammad Akbar dalam pernyataan terbukanya mendukung langkah pemerintah memberantas kendaraan ODOL.
Dalam pernyataannya yang disampaikan secaravterbuka disebutkan, saatnya pemerintah bertindak nyata, berani, konsisten dan transparan, bukan sekadar membuat aturan.
Pemerintah tak seharusnya bersembunyi di balik dalih “pendekatan manusiawi” jika pada kenyataannya itu hanya menjadi alasan untuk menghindari tindakan tegas terhadap pelaku usaha besar.
Keadilan bukan soal menyamakan perlakuan, melainkan soal menempatkan tanggung jawab sesuai posisi dan kekuasaan masing-masing. Jangan sampai beban kesalahan justru ditumpahkan kepada sopir di lapangan yang hanya menjalankan perintah, sementara mereka yang mengambil keputusan tetap bebas tanpa konsekuensi.
Truk-truk ODOL itu seperti bom waktu. Setiap hari melintas, jalan-jalan makin rusak, angka kecelakaan meningkat, dan uang negara terus terkuras hanya untuk perbaikan.
Semakin lama penindakan menyeluruh ditunda, semakin besar pula risiko yang harus ditanggung masyarakat. Setiap hari keterlambatan itu berlangsung, berarti kita diam-diam ikut membiarkan jatuhnya korban berikutnya di masa depan.
Penegakan Hukum Harus Menyentuh Pengambil Keputusan
Jika akar masalah ODOL tidak segera dibenahi, maka aksi protes sopir truk jadi agenda tahunan yang terus berulang.
Ketimpangan dalam penegakan hukum akan menjadi bara dalam sekam, siap meledak kapan saja. Sopir yang berada di lapangan akan terus menjadi tameng, menanggung beban aturan, sementara pemilik barang dan armada. Pihak yang sebenarnya memiliki kuasa untuk mencegah ODOL, tetap melenggang tanpa gangguan.
Karena itu, jika penanganan ODOL benar-benar ingin diselesaikan, maka fokus penegakan hukum harus dimulai dari mereka yang berada di puncak pengambilan keputusan. Mereka yang mengatur muatan, mengizinkan armada beroperasi, di situlah perubahan harus dimulai. (Syam)