Kembali Bergolak, Kartel Bawang Putih Diduga Menjadi Biangkeroknya
Selasa, 04 Februari 2020, 16:35 WIBBisnisNews.id – Kenaikan harga bawang putih di beberapa pasar dan sejumlah daerah meroket atau rata-rata diatas Rp 50 ribu/kg.
Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional (AHN) Anton Muslim Arbi, menduga ada praktek kartel menguasai pasar. Pemerintah diminta segera menyikapi itu, agar masya4akat tidak dirugikan.
" Kasuhan masyarakat. Kan jelas dalam aturan hukum apabila ditemukan pelaku usaha nimbun barang kebutuhan pokok bisa dipidana penjara,” ujar Anton pada awak media, Selaaa (4/2/2020) di Jakarta.
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, harus segera menyelidiki. Bila tidak mampu mengungkap mafia bawang, sebaiknya pemerintah dan Satgas Pangan segera turun ke lapangan dan periksa gudang-gudang untuk mencegah praktek penimbunan oleh importir nakal.
Menurutnya, pemerintah jangan kalah dengan mafia kartel bawang putih. Anton curiga ada mafia bawang yang sengaja menahan atau melarang Dirjen di Kementan untuk memberikan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) kepada importir-importir agar para mafia ini bisa mengatur harga pasar, jadinya harga bawang putih sekarang tinggi.
Anton bahkan meminta Presiden Jokowi agar mengganti menteri yang tidak bisa mengendalikan harga bawang putih, sebab 300 juta warga Indonesia memerlukan komoditi ini.
“ Kalau tifak mamou menyelesaikan , sebaiknya ganti menteri pertanian.
Karena sejak menteri pertanian di kabinet Indonesia maju jilid II dilantik bawang putih bergejolak lagi dan aturannya makin nggak jelas,” kata Anton.
Kendati menteri baru, cerita Anton, tapi kan ada kemungkinan di lingkungan Kementerian Pertanian sendiri tetap ada oknum pejabat dan karyawan masih memiliki hubungan dengan para pelaku kartel bawang putih yang nakal, maka mafia bawang putih akan terus bisa bermain.
Sekarang ini, arga bawang putih dipasaran sudah naik dua kali lipat, kartel bermain dengan memanfaatkan isu virus corona. Padahal virus ini baru ramai beberapa hari ini saja. Sedangkan puluhan importir sejak November 2019 sudah mengajukan aplikasi ke Dirjen Kementan agar memperoleh RIPH, tetapi sudah lebih dari dua bulan tidak ada yang dirilis, padahal sebagian besar sudah melakukan wajib tanam yang diatur dalam peraturan Permentan lama.
Berdasarkan Permentan 39 Pasal 19 Ayat 1, Dirjen Hortikultura setelah menerima permohonan RIPH, diberikan waktu paling lama 5 hari kerja untuk melakukan verifikasi. Namun permohonan RIPH sudah dilakukan sejak November 2019, dan per 4 Februari 2020 (setelah 2 bulan lebih), Dirjen Hortikultura tetap tidak menerbitkan RIPH satu pun.
Kebijakan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mau menahan penerbitan RIPH bawang putih. Dengan terus ditunda nya RIPH, mereka bisa terus menaikan harga bawang putih di Indonesia, dan mendapatkan keuntungan yang luar biasa, modal impor Rp. 20 ribu/kg, dijual di pasar Rp 50 ribu/kg, keuntungan nya Rp30 ribu/kg.
Bila dikalikan kebutuhan konsumsi sebesar 40 ribu ton per bulan, maka keuntungan Kartel Bawang Putih ini bisa mencapai Rp. 1,2 Trilyun per bulan nya.
“Keuntungan yang sangat luar biasa dan di akomodir dengan terus ditunda nya RIPH oleh Dirjen Hortikultura di Kementerian Pertanian,” kata Anton. “Dan kalo harga nya naik lebih tinggi lagi ke Rp 60 ribu atau 70 ribu, yah lebih luar biasa lagi untung nya," tuturnya.
Dia berharap Kementerian tidak boleh dipermainkan oleh kartel, karena sekarang ini seakan-akan dikendalikan, terlihat dari permohonan RIPH yang sudah masuk tapi Dirjen tidak mengeluarkan, pasti pada curiga. “Ini pernah dibuktikan saat Mentan dijabat Pak Arman, Komisi VI mengungkap staf menteri bermain dengan mafia bawang dan langsung dipecatin,” kata Anton.
Ia mengungkapkan, kalau memang ternyata Kementan tidak dikendalikan oleh mafia sebaiknya segera keluarkan RIPH. Apalagi menurut Kementan stok tinggal 60 ribu ton, jumlah itu sedikit sekali hanya cukup untuk kebutuhan sekitar 6 minggu. Sedangkan proses pengiriman dari Cina sampai ke Indonesia membutuhkan waktu setidaknya satu bulan, belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk proses distribusi.
Anton mengingatkan, dengan kondisi seperti ini, idealnya Dirjen Hortikultura yang memiliki wewenang mengeluarkan RIPH harusnya mengeluarkan rekomendasi, bukan malah sebaliknya menahan permohonan. (Ari)