Kemiskinan, Sisi Gelap Pengembangan Pariwisata Indonesia
Jumat, 22 September 2017, 17:05 WIBBisnisnews.id - Kepulauan Raja Ampat dijadikan hotspot pariwisata di Indonesia, namun penduduk setempat merasa pemerintah telah mengecewakan mereka dan lingkungan dalam pengembangannya.
Raja Ampat yang berarti Empat Raja, terdiri dari 1.500 pulau dan merupakan habitat sekitar 1.400 jenis ikan dan 600 spesies karang.
Pemerintah bermaksud mengubah kawasan ini menjadi hotspot pariwisata, membangun hotel, restoran dan investasi di pelabuhan baru.
Tapi di sebuah pulau sekitar dua jam perjalanan kapal dari ibu kota Raja Ampat, Waisai, penduduk desa masih tinggal di pondok sederhana yang kekurangan listrik dan air bersih, sementara sekolah menengah terdekat berjarak beberapa kilometer jauhnya.
Penduduk setempat mengatakan kepada AFP bahwa mereka tidak melihat adanya perbaikan dalam kehidupan mereka meskipun terjadi peningkatan pengunjung yang dramatis. Menurut perkiraan pemerintah, sekitar 15.000 wisatawan sekarang datang ke daerah itu setiap tahun, meningkat dari 5.000 di tahun 2010.
"Mereka telah menyakiti kita orang-orang pribumi, mereka mengambil tanah, air dan hutan kita. Kami merasa dikhianati," kata Paul Mayor, kepala suku Byak Betew tentang dorongan wisata pemerintah.
"Itu tanah kita, laut kita, yang sekarang merupakan tujuan wisata kelas dunia, tapi kita tidak mendapat apa-apa dari arus masuk wisatawan," tambahnya.
Paul juga mengkritik pihak berwenang gagal melindungi ekosistem unik kawasan ini, mengarah ke kecelakaan kapal pesiar pada bulan Maret yang merusak 13.500 meter persegi terumbu karang.
Kapal Caledonian Sky 4.200 ton kandas di dekat pulau Kri yang membawa 102 penumpang dan 79 awak, namun setengah tahun kemudian tidak ada yang bertanggung jawab.
Kami masih miskin
Periset dari Universitas Papua menilai dampak kecelakaan tersebut dan mengatakan pemulihan terumbu yang rusak bisa menelan biaya sebesar 16,2 juta dolar.
Kepala pariwisata untuk Raja Ampat, Yusdi Lamatenggo mengatakan bahwa perusahaan yang mengoperasikan kapal tersebut, Noble Caledonia akan dipanggil untuk segera hadir di pengadilan namun sejauh ini mereka belum menerima tanggung jawab atau ganti rugi apapun.
Sementara itu, Paul mengatakan bahwa langkah-langkah diambil untuk mencegah terjadinya kecelakaan lebih lanjut dengan menetapkan rute kapal pesiar yang jelas dan pelabuhan kelas dunia.
Namun kecelakaan tersebut telah memicu ketidakpercayaan dan eksklusi yang sering dirasakan oleh penduduk asli Papua Melanesia. Wilayah yang kaya sumber daya itu dianeksasi pemerintah pada tahun 1969 dan sebagian besar orang Papua merasa bahwa mereka belum mendapatkan bagian dari kekayaan alamnya.
Militer tetap memiliki pengaruh berat di wilayah ini dan secara teratur menahan pembangkangan.
Setelah menjabat pada 2014, Presiden Joko Widodo berjanji untuk mempercepat pembangunan di Papua, namun banyak penduduk setempat bersikeras bahwa mereka telah dilupakan.
"Tidak ada perubahan," kata Ariel Fakdawer, kepala desa Saukabu di Raja Ampat .
"Festival tahunan Raja Ampat misalnya, menarik ribuan turis tapi kami tidak mendapatkan apapun dari itu. Kami masih miskin, tapi penyelenggara festival semacam itu, orang luar, mereka telah menghasilkan banyak uang," tambahnya.
Kelompok masyarakat adat mengatakan bahwa mereka memerlukan komunikasi satelit , listrik, infrastruktur lebih baik, dan hak untuk memerintah sendiri berdasarkan hukum adat.
"Pemerintah tidak pernah memenuhi kebutuhan kita karena mereka tidak mengerti apa yang kita inginkan," kata Paul.
"Saya percaya pemerintah harus mendekati kita dengan mengingat kebutuhan budaya kita, mereka harus berbicara dengan kita masyarakat adat," tegasnya.
Tapi tidak semua orang menentang terburu-buru pembukaan Raja Ampat ke seluruh dunia.
Penduduk desa, Medzke Karoswaf menjelaskan, "Ini adalah dunia modern, kita tidak bisa hidup terisolasi seperti di dalam gua selamanya. Kita harus berpikiran terbuka. Suka atau tidak, kita tidak hidup sendiri di dunia ini." (marloft)