KPK Kembali Periksa Laksamana Sukardi
Senin, 10 Juli 2017, 13:00 WIBBisnisnews.id - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi kembali akan dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyidik KPK memanggil Laksamana Sukardi untuk dimintai keterangan seputar kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004.
"Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka SAT (Sjafruddin Arsjad Temenggung) yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)," kata juru bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Senin 10 Juli 2017.
Sebelumnya Laksamana sempat beberapa kali diperiksa saat KPK menangani kasus BLBI pada 2013-2014. Saat itu dia diperiksa terkait prosedur pengucuran dana BLBI dan kerangka aturan yang menjadi dasar.
Selain Sukardi, komisi antirasywah juga memanggil Sumantri Slamet, mantan Wakil Ketua Bidang Administrasi BPPN.
Sjafruddin dianggap bertanggung jawab dalam mengeluarkan SKL BLBI untuk BDNI milik Sjamsul Nursalim. BDNI salah satu yang mendapat pinjaman likuiditas Rp27,4 triliun dari dana BLBI.
Surat lunas diberikan setelah BDNI menyerahkan sejumlah aset yang mereka miliki. Sebagai salah satu obligor, BDNI memiliki kewajiban sebesar Rp4,8 triliun yang ditukarkan lewat piutang petani tambak PT Dipasena yang dikelola Artalyta Suryani.
KPK mensinyalir ada yang tidak beres dalam penerbitan surat lunas untuk BDNI. SKL tetap dikeluarkan walau hasil restrukturisasi aset BDNI dari piutang PT Dipasena hanya sekitar Rp1,1 triliun. Akibatnya negara merugi Rp3,7 triliun.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara. (Gungde Ariwangsa)