MUI Akan Gelar Event KUII Ke-7 di Pangkalpinang
Jumat, 07 Februari 2020, 20:34 WIBBisnisNews.id -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggelar Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 di Pangkalpinang, Bangka Belitung, tanggal 26-29 Februari 2020. Konggres ini mengangkat tema “Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia dalam Mewujudkan NKRI yang Maju, Adil, dan Beradab.”
“Dalam forum tersebut, KUII akan membahas beragam persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia, meliputi politik, keagamaan, media, ekonomi, dan pendidikan,” kata Zaitun Rasmin, Ketua Panitia KUUI dalam silaturahim dengan media di Jakarta Jumat (7/2/2020).
Lebih lanjut, Zaitun mengungkapkan, di bidang pendidikan, pembangunan pendidikan nasional di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan serius, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja bangsa yang mencakup (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; (c) penataan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik; dan (d) peningkatan pembiayaan (d) akomodasi kebudayaan dalam pendidikan.
Dengan demikian, kata Zaitun, upaya peningkatkan kinerja pendidikan nasional memerlukan suatu reformasi menyeluruh. Bidang pendidikan menjadi bahasan pokok dalam rangkaian diskusi terpumpun pra kongres, mengingat cita-cita pendidikan dan kebudayaan dalam perspektif Islam dan Pancasila adalah pendidikan yang religius.
“Pendidikan religius adalah sistem pendidikan yang tidak sekadar berorientasi pada tujuan kecerdasan dan keterampilan untuk bekerja yang bersifat pragmatis, akan tetapi menekankan pengembangan diri manusia yang memiliki nilai-nilai mulia baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, serta untuk kehidupan dunia dan akhirat, dengan kata lain untuk menjadi manusia yang insan kamil,” jelas Zaitun.
Sementara, di bidang filantropi Islam, menurut Zaitun, KUII akan menyoroti tentang peluang dan optimalisasi filantropi Islam. Dari total 164 negara di dunia, Indonesia masuk menjadi 10 negara paling dermawan di dunia dalam lima tahun terakhir (World Giving Index, 2019-2015), dan sempat menjadi negara paling dermawan pada tahun 2018 jauh di atas negara-negara lainnya (World Giving Index, 2018).
Penilaian kedermawanan ini dilihat dari aspek pemberian pertolongan kepada orang asing (stranger), tenaga kesukarelawanan, dan donasi berupa uang, barangdan atau jasa.
Dari sekitar 269,6 juta penduduk Indonesia, 87,17%-nya adalah masyarakat Muslim (BPS, 2019). Artinya, di tengah bonus demografikiwari potensi kedermawanan masyarakat Muslim di Indonesia, utamanya di kalangan millenial, sangat besar.
Meski dermawan, namun masyarakat muslim Indonesia masih sedikit yang memahami pentingnya sumbangan pra dan pascabencana kepada masyarakat yang berada di wilayah dengan potensi bencana alam yang besar.Umat Islam gemar menyumbang tetapi tidak ada kesadaran untuk melakukan kontrol terhadap penyaluran bantuan sosial kemanusiaan. Lembaga filantropi tumbuh dengan subur, tapi di lain pihak belum banyak lembaga yang belum profesional sehingga tidak terdata secara nasional, regional, maupun global.
Sementara pada persoalan keagamaan, kegagalan sebagian umat beragama dalam memahami pesan kemajuan dari ajaran agamanya. Ekspresinya adalah praktik al-ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam tekstualisme dan rasionalisme Ada dua hal kegagalan memahami sumber ajaran Islam, yaitu tekstualisme(tasyaddud/tafrith), liberalisme (tasahul/ ifrath), sekularisme dan sinkretisme.
“Tekstualisme menyebabkan umat Islam berpikir sempit dalam memaknai Islam sehingga menjadi stagnan, fobia kemajuan dan perubahan, dan tertinggal derap zaman. Model tekstualisme agama inilah yang telah dipolitisasi, dikapitalisasi, dan diideologisasi tidak saja oleh oknum umat Islam namun juga oleh oknum lainnya menjadi aksi ekstremisme dan terorisme berlatarbelakang pemahaman agama,” tukas Zaitun.
Padahal menjadi umatan wasatha (ummah wasathiyah). Ummah wasathiyah yang menjadi role model umat terbaik (Khaira Ummah) dalam segala aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah serta keharmonisan kehidupan dan menjadi pemimpin peradaban yang berlaku adil dan menengahi.
Selanjutnya mengurai problematika manusia; semakin eratnya persaudaraan sesama umat Islam, menguatnya jiwa patriot dan bela negara dan muslim yang humanis, serta terwujudnya hubungan antara agama dan negara-bangsa (nationstate) semakin kuat dan saling membutuhkan tidak lagi mempertentangkan posisi agama dalam negara dan posisi negara dalam agama.(elm/helmi)