Nasib Pertamina di Blok Rokan, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Minggu, 08 Maret 2020, 09:16 WIBBisnisNews.id -- Sebetulnya PT Pertamina tidak punya kemampuan keuangan untuk membeli Blok Rokan kepada Pemerintah pada akhir tahun 2018 lalu. Pasalnya, keuangan perusahaan migas itu sedang payah akibat begitu banyak beban dan tanggung jawab yang harus dipikul Pertamina untuk menjalankan kebijakan populis pemerintan menuju pilpres 2019.
Pertamina terpaksa harus melipatgandakan utang dengan menerbitkan global bond senilai 750 juta dolar untuk dapat membayar Blok Rokan kepada Pemerintah melalui pembayaran signature bonus. Nilai pembelian yang sangat besar hasil lelang Blok Rokan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM yang dimenangkan oleh Pertamina dan mengalahkan peserta lainnya termasuk Chevron.
Namun meskipun sudah membayar sangat besar, ternyata Pertamina tidak langsung dapat memasuki Blok Rokan dan melakukan aktvitas pengeboran minyak di sana. Pertamina baru dapat masuk secara penuh ke Blok Rokan setelah kontrak berakhir nanti tahun 2021.
Sementara proses bertahap menuju tahun 2021 tidak berlangung dalam tahap yang normal sebagaimana yang diharapkan pertamina. Satuan Khusus Kerja Migas (SKK) migas gagal memfasilitasi proses peralihan secara bertahap Blok Rokan dari tangan Chevron kepada Pertamina.
Bahayakan Pertamina ?
Kondisi ini sangatlah membahyakan bagi Pertamina, karena apabila Pertamina tidak masuk secara bertahap ke dalam pengeloaan blok migas ini, maka dapat dipastikan produksi migas tahun 2021 akan berada dalam bahaya. Sebagaimana diketahui bahwa blok migas Rokan di Provinsi Riau merupakan blok migas dengan produksi migas terbesar di Indonesia yang dikelola perusahaan AS selama kurang lebih 100 tahun.
Mengapa ? karena produksi Blok Rokan sendiri berada dalam kondisi penurunan. Tanpa ada pengeboran dan sumur sumur migas baru, maka produksi Blok Rokan akan menurun dratis. Sementara Chevron tidak mungkin diharapkan melakukan investasi baru karena akan segera meninggalkan lapangan tersebut.
Ibarat pepatah jatuh tertimpa tangga, Pertamina harus berhadapan dengan harga minyak mentah yang semakin merosot dan tidak ada harapan akan pulih dalam dua atau tiga tahun mendatang. Jadi walaupun Pertamina mengambil alih Blok Rokan, uang yang dikeluarkan untuk membiayai operasi blok ini tidak akan mudah dapat dikembalikan.
Selain produksi blok ini akan menurun secara alamiah, harga jual minyak mentah yang dihasilkan ti?ak akan menutupi biaya produksi blok ini, apalagi menutupi utang Pertamina yang sudah terlanjur menggunung.
Berdasarkan laporan Pertamina, utang dalam bentuk global bond Pertamina sekarang senilai 12,5 miliar dolar, belum termasuk utang kepada bank baik dalam maupun luar negeri. Jadi nasib usaha hulu migas Pertamina dan juga blok blok migas dalam negeri yang baru dibeli Pertamina tampaknya akan bernasib suram. Semoga ada jalan keluarnya.
*Peneliti AEPI Jakarta, Salamuddin Daeng