Pembangunan Hulu Energi Mutlak, Harusnya Kenaikan Harga Gas Industri Tak Ditolak?
Jumat, 01 November 2019, 07:36 WIBBisnisNews.id -- Defisit Minyak dan Gas Bumi (Migas) sebenarnya telah terjadi sejak lama dan puluhan tahun tak pernah dibenahi secara serius dan konsisten oleh kebijakan pemerintah. Selama bertahun-tahun, semenjak Tahun 2004, alih-alih mengatasi masalah defisit. Yang terjadi justru adalah pembiaran dengan tak berjalannya pembangunan dan perluasan kilang, kebijakan diversifikasi energi yang bergonta-ganti, menerapkan harga murah untuk bensin beroktan rendah, dan hal lainnya yang membuat konsumsi makin tinggi.
Presiden Joko Widodo sendiri telah berulang kali menyampaikan permasalahan ini dalam berbagai kesempatan pada para pembantunya, yaitu Menteri-menteri yang terkait dengan kebijakan hulu energi ini.
Neraca dagang sektor migas Indonesia akan terus mengalami defisit jika tak ada terobosan alternatif dan kebijakan harga yang proporsional sesuai kondisi permintaan dan penawaran produk migas. Hal ini disebabkan karena nilai impor migas Indonesia terus meningkat dan komoditas ekspor yang belum memiliki nilai tambah dan berkualitas dibanding negara lain..
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan neraca perdagangan Indonesia Mei 2019 surplus US$ 210 Juta atau sekitar Rp 2,94 Triliun. Sektor non migas mengalami surplus sebesar US$ 1,19 Miliar atau sejumlah Rp 16,6 Triliun Triliun, namun sektor migas justru mengalami defisit sebesar US$ 980 juta atau sejumlah Rp 13,72 Triliun (kurs dollar Rp 14.000). .
Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas pengolahan migas di dalam negeri, sehingga secara bertahap dapat mengatasi ketergantungan terhadap impor migas. Peningkatan kapasitas pengolahan migas penting dilakukan agar dalam jangka panjang dapat meningkatkan kualitas produk ekspor sehingga dapat meningkatkan potensi pendapatan BUMN dan penerimaan negara.
Sebagai contoh, Indonesia masih mengandalkan pasokan Liquid Petroleum Gas (LPG) untuk ekspor, sedangkan permintaan dalam negeri untuk gas mulai meningkat di satu sisi. Sedangkan di sisi yang lain, permintaan dunia atau global untuk komoditas ini tidak terlalu signifikan. Kebijakan struktural untuk menanggapi situasi ini perlu dipersiapkan agar Indonesia tidak terlampau reaktif dengan gejolak perekonomian global.
Dalam catatan BPS, ekspor migas Januari hingga Mei 2019 mencapai US$ 5,34 Milyar, sedangkan nilai impor migas mencapai angka US$ 9,08 Milyar. Defisit neraca perdagangan sektor migas pun mencapai US$ 3,74 Milyar. Bukankah kebijakan yang anomali apabila kondisi ini tetap dipertahankan dengan menolak usulan kenaikan harga gas industri?
Kenapa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) pada tanggal 30 Oktober 2019 menerbitkan kebijakan yang justru melakukan tindakan inkonsistensi untuk mengatasi defisit migas dalam jangka pendek yang paling rasional, yaitu melalui pengesahan kenaikan harga gas industri?
Padahal, Permen ESDM Nomor 58/2017 tentang Harga Jual Gas Melalui Pipa Pada Kegiataan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi memberikan peluang untuk itu, sebab sejak Tahun 2013 PGN telah mengeluarkan beban subsidi yang besar untuk gas industri.
Berdasarkan Permen ESDM tersebut terdapat, formula penetapan harga gas bumi, yaitu Harga Jual Gas Bumi Hilir = Harga Gas Bumi + Biaya Pengelolaan Infrastruktur + Biaya Niaga. Apabila komponen pembentuk harga gas di hulu sudah tinggi yaitu hampir 70%.
Maka harga gas PGN di hilir otomatis harus disesuaikan Sementara biaya-biaya lain seperti, Biaya Pengelolaan Infrastruktur dan Biaya Niaga hanya mencakup sebesar 30% dari struktur harga jual hilir.
Lalu pertanyaannya adalah, apakah Pemerintah ingin mengulang kesalahan yang sama sebagaimana halnya terjadi pada kasus BUMN PT. Semen Indonesia Tbk (Persero) yang mengalami kesulitan sama atas kebijakan harga semen impor?
*Defiyan Cori, ekonom konstitusi/nda