Pemerintah Didesak Kurangi Impor Minyak Mentah
Jumat, 07 Oktober 2016, 10:12 WIB
Bisnisnews.id-Merasa dianak tirikan, para pelaku usaha di sektor offshore atau lepas pantai ingatkan pemerintah agar tidak terlena dengan kegiatan impor BBM atau bahan bakar minyak, karena akan mengurangi kepercayaan investai swasta.
Eddy Kurniawan Logam dari Logindo Group dan Nova Y.Mugijanto dari PT PAN Maritime Wira Pamitra, Kamis (06/10/2016) mengatakan, kalangan swasta nasional yang bergerak di sektor offshore, beberapa tahun belakangan ini telah melakukan investasi triliunan rupian dalam mendukung program pemerintah soal kegiatan pendukung offshore.
Namun, seiring terus menurunnya harga minyak dunia, pemerintah justeru menghentikan seluruh kegiata ekplorasi minyak bumi, sehingga alat berat termasuk kapal yang telah diinvestasikan swasta nasional jadi sia-sia atau idle capacity hingga 50 persen.
" Mau dikemanakan itu kapal-kapal besar yang telah kami investasikan dalam beberapa tahun terakhir ini. Bukan Cuma kami dari Logindo tapi juga nguaha lain siap-siap gulung tikar dan menanggung utang," kata Edi Logam.
Nova menambahkan, saat ini membeli minyak dari luar (impor) diakui jauh lebih muah ketimbang memproduksi sendiri, namun ini akan menjadi bumerang bagi pemerintah ketika harga minyak dunia kembali naik atau stabil. Kalangan swasta yang merasa kurang diperhatikan saat ini nantinya menjadi kurang tertarik lagi untuk berinvestasi.
Menurut Nova, kapal-kapal yang diinvestasikan secara besar-besaran sesuai Inpres 5/2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran, yang mewajibkan seluruh kegiatan komoditi dalam negeri menggunakan kapal dan awak merah putih menjadi sia-sia. Bahkan saat ini dari seluruh kapal yang ada sekitar 40 sampai 50 persen nganggur karena tidak ada kerjaan.
" Utang kami msih banyak, karena kapal itu dapat pembiayaan dari bank, terus mau dikemanakan kalau pemerintah atau BP Migas diam saja tidak melakukan kegiatan dan lebih memilih impor minyak," kata Nova.
Kedua pengusaha swasta nasional ini mengaku sangat kecewa dengan sikap pemerintah, yang kurang memperhatikan nasib swasta merah putih yang telah berinvestasi triliunan rupiah. Dia mencontohkan, untuk dua perusahaan saja, investasi yang telah dikucukan untuk alat berat dan kapal, lebih dari tujuh triliun. Belum lagi perusahaan swasta lain, yang jumlahnya lebih besar.
" Kami beruaya investasi karena mendukung program emerintah soal asas cabotage, yaitu kewajiban menggunakan kapal dan awak merah putih. Ketika kapal sudah banyak, meningkat lebih dari 100 persen, kami ditinggalkan," jelas Eddy.
Pihak BP Migas saat ditanyakan masalah ini selalu berkelit dengan menyodorkan alasan klasik, bahwa harga minyak sedang lesu. " Terus diam aja gitu, padahal negeri ini sangat kaya dengan hasil alamnya. Kalau dikatakan cadangan minyak tinggal sedikit, karena itu harus kreatif dan wajib dicari jangan diam dan pasrah," jelasnya.
Pada sisi lain Nova menuturkan, sangat memahami apa yang dilakukan pemerintah memilih impor minyak mentah sebagai strategi mengatasi krisis saat ini dan sifatnya sementara saat produksi nasional belum mencukupi. Kendati demikian, pemerintah jangan terlena dan harus tetap berupaya meningkatkan produksi minyak di dalam negeri agar mengurangi ketergantungan negara luar.
" Ketahanan nasional di sektor migas harus tetap menjadi landasan kebjakan, agar tdak membebani generasi mendatang," kata Nova.
Eddy Logam menambahkan, secara bertahap pemerintah Indonesia sudah harus menytakan wajib mengurangi impor minyak mentah, juga bahan bakar minyak, agar krisis energi tidak menimpa generasi mendatang. " Kita harus memulia menuju satu visi yang sama menjadikan bangsa ini mandiri di bidang energy, dengan melibatkan semua pemangku kepentinngan dalam merumuskan peta kebijakan industry migas nasional," jelasnya.
Pemerintah bersama-sama
swasta nasional yang sudah investasi ini, dapat duduk bersama mecari solusi,
dengan merevitalisasi industry hulu
migas agar dapat memberikan manfaat
maksimal, sehingga ketergantngan akan impor menurun.