Stop......!!! Gesekan Berujung Penangkapan Nelayan di Perbatasan Indonesia - Malaysia
Senin, 14 Oktober 2024, 08:44 WIBBISNISNEWS.id - Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat melakukan pengawasan bersama perbatasan perairan dua negara untuk mengurangi terjadinya konplik, berupa penangkapan nelayan dari kedua negara.
Kesepakatan itu dibuat mengingat posisi perairan Indonesia dan Malaysia berbatasan langsung di Laut Tiongkok Selatan dan Laut Sulawesi serta berbatasan Selat Malaka yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Perbatasan perairan itu digunakan para nelayan di dua negara untuk menangkap ikan, sehingga kerapkali terjadi pelanggaran dan penangkapan.
Gesekan di perbatasan perairan itu diakui Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Capt. Antoni Arif Priadi pada Workshop yang digelar Atase Perhubungan RI Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, yang berlangsung di Jakarta baru-baru ini.
Pelanggaran di wilayah perairan ini, lanjut Capt. Antoni, terkadang membuat nelayan dari kedua negara mengalami penangkapan oleh aparat penegak hukum kedua negara.
Dalam hal pelanggaran oleh nelayan Indonesia, penangkapan dilakukan oleh otoritas Malaysia (APMM dan Polis Marin).
“Sampai Desember 2023, tercatat sebanyak 21 kasus yang melibatkan penahanan perahu nelayan tradisional Indonesia di sekitar perairan Penang, Perak, Johor Bahru, dan Tawau, serta sebanyak 12 nelayan tradisional Indonesia yang sedang menjalani hukuman,” tutur Antoni.
Dikatakan, mayoritas nelayan yang ditahan merupakan nelayan tradisional asal Sumatera Utara dan Aceh Timur.
Untuk itu, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menandatangani MoU "The Common Guidelines Concerning Treatment of Fisherman By Maritime Law Enforcement Agencies of Malaysia and The Republic of Indonesia".
“MoU tersebut menyatakan bahwa setiap ada pelanggaran di area perbatasan (Selat Melaka) untuk dapat dilakukan penghalauan dan bukan penangkapan,” tegasnya.
Capt. Antoni menambahkan, Ditjen Perhubungan Laut melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-DJPL 17 Tahun 2024 telah menyoroti pentingnya perizinan usaha keagenan awak kapal sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Agung MA 67 Tahun 2022 tanggal 27 Desember 2022.
“Kami juga terus berupaya untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder terkait guna memberikan panduan dan menciptakan keseragaman, kepatuhan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha perekrutan dan penempatan awak kapal,” tandasnya.
Ia menggarisbawahi sosialisasi ini sangat penting untuk mencegah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) termasuk pelaut yang berangkat secara mandiri dan pelaut yang bekerja di kapal penangkap ikan.
Tantangan Perbatasan
Pada kesempatan yang sama, Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Capt. Hendri Ginting menjelaskan, kontribusi para nelayan tradisional di wilayah perbatasan tidak hanya dalam penyediaan sumber daya ikan, tetapi juga menjaga kedaulatan dan keberlanjutan ekosistem laut.
Namun data menunjukkan bahwa pelaut Indonesia yang terdaftar pada Jabatan Laut Malaysia setiap tahunnya mengalami fluktuasi jumlah. Pada tahun 2020 tercatat sebanyak 1.926 orang, tertinggi pada tahun 2021 mencapai 3.171 orang, dan menurun di 2023 sebanyak 1.914 orang, serta per Juni 2024 sebanyak 818 orang.
Capt. Hendri mengungkapkan, berbagai tantangan yang dihadapi seperti kurangnya pemahaman terkait isi kontrak, dan tingginya persaingan dengan pelaut dari negara lain membuat jumlah pelaut Indonesia yang bekerja di Malaysia mengalami penurunan.
“Oleh karena itu, diharapkan melalui workshop ini menjadi sarana berdiskusi agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat segera diminimalisir,” tutur Hendri. Dampaknya, diharapkan dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja pelaut yang terserap di luar negeri dengan kesejahteraan yang baik, serta mengurangi jumlah kasus penangkapan nelayan tradisional Indonesia yang memasuki perairan Malaysia baik disengaja maupun tidak disengaja.
(*/Syam)