YLKI Minta Pemerintah Serius Tangani Limbah Plastik
Sabtu, 06 Juli 2019, 20:06 WIBBisnisnews.id -- YLKI mendorong Pemerintah, lintas kementerian dan lembaga, untuk secara serius menanggulangi masalah plastik, dari hulu hingga hilir.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan,
dari hulu seharusnya pemerintah mewajibkan adanya produk plastik yang mengantongi SNI.
"Dan dari sisi hilir pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan pengendalian konsumsi plastik oleh konsumen, termasuk masalah plastik berbayar yang saat ini belum jelas arah dan regulasinya," kata Ketua YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Sabtu (6/7/2019).
Menurutnya, Pemerintah juga harus memfasilitasi pengolahan sampah plastik untuk didaur ulang menjadi produk lain yang lebih bermanfaat.
Selanjutnya, kata Tulus, YLKI juga mendesak untuk kalangan pelaku usaha/produsen untuk bertanggung jawab pada sampah plastik dari produk yang dijualnya untuk ditarik dan dikelola kembali.
"Dengan begitu bisa meminimalisir pencemaran yang dihasilkan. Sebagaimana prinsip Extended Producer Responsibility (EPR) yang dimandatkan oleh UU tentang Lingkungan Hidup dan UU tentang Persampahan," kilah Tulus.
YLKI juga meminta Kementerian Perindustrian untuk tidak secara telanjang menjadi corong pelaku usaha, dengan menolak wacana cukai plastik, tanpa argumen yang rasional. "Jelas peran sektor industri tidak bisa dinegasikan, apalagi dimatikan," jelas Tulus.
Tetapi, menurut YLKI, sektor industri harus kreatif untuk memproduksi plastik yang tidak merusak lingkungan, dan bahkan mempunyai tanggung jawab menyelamatkan lingkungan. Jangan malah makin destruktif terhadap lingkungan.
Wacana Cukai Plastik
Kementerian Keuangan berencana mengenakan cukai plastik, yang akan ditimpakan pada pelaku usaha, sebesar Rp200per lembar atau Rp30.000,- per kilogram. Tentu saja rencana ini menimbulkan pro kontra. Kalangan pelaku usaha, bahkan Kementerian Perindustrian, menolaknya.
Terkait wacana cukai plastik tersebut, menurut YLKI, jika merujuk pada dampak eksternalitas negatif yang ditimbulkan bagi penggunanya, orang lain dan lingkungan, maka plastik pantas dikenai cukai.
"Diperkirakan, menurut data Bank Dunia (2018) sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya dan saat ini sekitar 150 juta ton plastik mencemari lautan dunia," terang Tulus.
Dan tragisnya, menurut Tulus, Indonesia menjadi negara pencemar kedua terbesar di dunia setelah China. Diperkirakan Indonesia menyumbang 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan.
Oleh karenanya, kilah Tulus, jika tidak ditanggulangi secara secara menyeluruh, sampah plastik akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang semakin parah, dan merugikan kita semua.
Namun demikian, tambah YLKI, cukai bukanlah satu satunya cara untuk menekan dan mengendalikan penggunaan dan konsumsi plastik.
"Tanpa disinergikan dengan kebijakan lain, alih alih konsumsi plastik tetap dominan, sekalipun telah dikenai cukai yang tinggi pula. Disini Pemerintah harus bijak. Intinya, pengendalian sampah plastik harus segera dilakukan dengan langkah paling kecil resiko dan resistensinya," tegas Tulus.(helmi)