2022 , Perusahaan Tambang Tak Boleh Ekspor Dalam Bentuk Ore ?
Kamis, 18 Juli 2019, 19:12 WIBBisnisnews.id -- Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Ditjen Minerba, Kementerian ESDM Sri Raharjo mengatakan, sesuai UU Minerba mulai tahun 2022 Indonesia tak boleh lagi ekspor mineral mentah (ore). Sebaliknya, mineral harus diolah dulu di dalam negeri, sehingga bisa memberikan nilai tambah yang besar untuk bangsa dan negara.
Selama ini, lanjut dia, perusahaan tambang baik lokal atau asing bisa ekspor dalam bentuk mineral mentah (ore). Apalagi, kapasitas smelter di Indonesia belum mencukupi. Di sisi investor dan juga Pemerintah Indonesia butuh devisa untuk membangun melalui kas negara di APBN.
"Sesuai UU Mineral, ekspor ore tak boleh. Konsekuensinya, perusahaan tambang harus membangun smelter untuk memurnikan ore menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dengan begitu, nilainya menjadi jauh lebih besar," jelas Sri Raharjo lagi.
Baca Juga
Sesuai UU Minerba, menurut dia, dalam rencana kerja (perusahaan tambang) yang diajukan ke Pemerintah, ada kebijakan bagi investor untuk melakukan hilirasi yaitu membangun smelter atau perusahaan pemurnian dan produk turunannya.
"Dengan tujuan, menciptakan nilai tambah yang lebih besar. Membuka lapangan kerja baru, nilai komoditas ekspor lebih besar serta potensi penerimaan negara baik pajak, rolyalty dan lainnya juga lebih besar," aku Sri Raharjo.
Dengan membangun smelter di Indonesia maka akan terjadi proses alih teknologi kepada bangsa Indonesia. "Ke depan tak ada lagi ekspor tanah dan air, karena semua harus diolah dan dimurnikan dulu di dalam negeri. Sesuai pasal 33 UUD 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya milik negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," terang Sri Raharjo.
800 Inspektor Tambang
Dalam perspektif lingkungan, menurut pejabat Kementerian ESDM itu, Pemerintah komit menegakkan aturan yang ramah lingkungan. Semua perusahaan tambah harus melakukan reklamasi, dana kewajiban lain yang ditentukan UU.
Saat ini, Pemerintah mempunyai 800 inapektor tambang. Mereka itulah yang akan memantau dan mengawasi aktivitas penambangan di Indonesia. Mereka juga harua dipastikan taat dan patuh pada aturan UU yang ada.
Untuk efektifitas kerja inspektor tambang tersebut, menurut Sri Raharjo, maka dibutuhkan anggaran dari Pemda agar aktivitas pertambangan yang ada di daerah berjalan sesuai aturan dan tidak mengganggu masyarakat sekitar.
"Pengawasan operasionalnya di Pemda, tapi tidak semua pemda menganggarkan. Tapi para inspektor tambang itu adalah pegawai dari pusat atau Kementerian ESDM," ucap Sri Raharjo lagi.
Sementara itu, menueut dia, Pemda tak perlu ambil pusing soal gaji untuk pengawas aktivitas pertambangan. Hal itu akan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau khususnya Kementerian ESDM.
Aktivitas pertambangan ini diawasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang disebut dengan inspektur tambang. "Aturan itu diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara," kilah Sri Raharjo.
Inspektur tambang memiliki wewenang untuk mengawasi tata kelola perusahaan pertambangan di masing-masing daerah. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab untuk memastikan pengolahan atau pemurnian dilakukan sesuai dengan aturan.
Raharjo menyatakan jumlah inspektur tambang pada tahun ini sekitar 800 orang dan tersebar di seluruh kawasan pertambangan dalam negeri. "Dalam lima tahun ke depan, ia mengusulkan jumlah inspektur tambang tetap 800 orang. Hal itu sejalah dengan penambahan IUP serta area tambang yang harus diawasi mereka," tegas pejabat ESDM itu.(helmi)