Awas Harbolnas, Jangan Jerumuskan Konsumen ke Perilaku Boros
Minggu, 10 November 2019, 12:51 WIBBisnisNews.id -- Perilaku belanja berbasis daring (online) atau eccommerse) makin menjadi kegandrungan masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda milenial. Harga yang lebih efisien (murah) menjadi pertimbangan utama, apalagi masih diiming imingi diskon, cash back, pay later, dan lainnya.
Tidak heran jika strategi marketing, iklan dan promosi para pelaku market place di Indonesia makin ofensif menjerat calon konsumennya. "Salah satu bentuk strategi marketingnya yang ofensif itu adalah Harbolnas atau Hari Belanja Online Nasional, setiap tanggal 11 November," kata Ketua YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Minggu (10/11/2019).
Menurutnya, belanja online banyak sisi positifnya, seiring dengan keniscayaan fenomena ekonomi digital. "Namun demikian banyak catatan terkait hal ini, terkhusus pada aspek perlindungan konsumen," kata Tulus mengingatkan.
Oleh karenanya, menurut YLKI, konsumen tetap harus mengedepankan perilaku belanja yang kritis dan rasional. Belanjalah berdasar pada kebutuhan (need) bukan keinginan (want). "Jangan terjerat bujuk rayu diskon, sebab banyak diskon hanyalah gimmict marketing, alias diskon abal-abal," jelas Tulus lagi.
Cermatilah bentuk bentuk diskon yang diberikan, termasuk jenis barang yang diberikan diskonnya. "Konsumen juga jangan makin konsumtif berbelanja dengan iming iming paylater, yang pada akhirnya akan terjerat hutang," pesan Tulus.
Konsumen, menurut YLKI, harus mengedepankan kewaspadaan dan ekstra hati hati dalam belanja online. Cermatilah profil pelaku usaha dari market place yang menawarkan belanja online yang bersangkutan.
"Jangan sampai konsumen dirugikan oleh transaksi belanja online dari market place yang tidak kredibel. Alih alih konsumen malah tertipu," papar Tulus lagi.
Berdasar data pengaduan YLKI selama 5 (lima) tahun terakhir, kilah Tulus, pengaduan belanja online selalu menduduki rating tiga besar. Dan ironisnya, prosentase pengaduan tertinggi yang dialami konsumen adalah barang tidak sampai ke tangan konsumen.
"Artinya masih banyak persoalan dalam belanja online dalam hal perlindungan konsumen," kilah Tulus.
Selanjutnya, para pelaku market place juga harus mengedepankan strategi promosi, iklan dan marketing yang bertanggungjawab, dan menjunjung etika bisnis yang fairness, dan mematuhi regulasi yang ada. "Bukan malah sebaliknya, iklan dan promosi yang membius konsumen yang beda beda tipis dengan aksi penipuan," urai Tulus.
Penguatan Regulasi
Terkait masalah ini, menurut YLKI, Pemerintah harus secara ketat mengawasi praktik belanja online, khususnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan, Badan POM, dan kementerian/lembaga lainnya yang berkompeten.
"Kuatnya fenomena belanja online, ironisnya, justru tidak paralel dengan kuatnya pengawasan oleh Pemerintah," kritik YLKI.
Dari sisi regulasi, dalam hemat YLKI, sangat mendesak untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi, dan RPP Belanja Online. "Kedua regulasi inilah yang akan secara kuat memayungi konsumen dalam transaksi belanja online," sebut Tulus.
Jika kedua regulasi ini tidak segera disahkan, tambah Tulus, sama artinya pemerintah melakukan pembiaran terhadap berbagai pelanggaran hak konsumen dalam transaksi belanja online.(helmi)