Ditjen Hubla dan DPP INSA Segera Menyusun Kode Etik Pelaut
Selasa, 18 Desember 2018, 16:47 WIBBisnisnews.id - Inspektur Jenderal, Kemterian Perhubungan Wahyu Satrio Utomo mengatakan, kode etik pelaut sudah sangat mendesak dan harus disusun, mengingat perannya sangat pentingnya dalam mengawal keselamatan pelayaran menuju zero accident.
Penyusunan kode etik pelaut dapat menjadi payung hukum bagi pelaut Indonesia dengan tujuan meningkatkan kebutuhan dan perlindungan hukum serta mencegah perbuatan tidak profesional bagi tenaga kerja pelaut di masa kini dan masa mendatang.
"Oleh karenanya, kedepan sudah sewajarnya jika kode etik bagi pelaut disusun bersama-sama oleh forum tripartite untuk kemudian dikompilasi atau dibakukan, dan disepakati serta disahkan oleh seluruh asosiasi atau organisasi pelaut Indonesia," ujar Irjen Tommy, panggilan akrab Wahyu Satrio Utomo dalam FGD, Kamis (18/12/2018) di Kemenhub.
Hadir dalam GHD tentang kode etik pelaut adalah para praktisI pelayaran dari unsur DPP INSA yaitu Budi Halim, Capt Otto Calo dan Lisda Satria, Ketua Mahkamah Pelayaran, Ataf Ahli Bidang Hukum Kemenhub dan sejumlah stakeholder.
Irjen Tommy mengatakan, Pelaut merupakan profesi yang luar biasa. Dengan wilayah kerja yang bersifat lintas negara, lintas wilayah, bahkan lintas benua, membuat seorang pelaut dituntut memiliki kualifikasi keahlian dan keterampilam berstandard internasional sesuai konvensi Standard ofTraining Certification and Watchkeeping (STCW) Amandeman Manila 2010 yang dikeluarkan oleh Internasional Maritime Organization (IMO).
“Dengan pendidikan yang terstandard internasional, seorang pelaut dapat dengan mudah bekerja dan dipekerjakan di luar negeri tanpa harus melalui proses penyetaraan ijazah atau proses adaptasi sebagaimana profesi yang lain,” kata Tommy.
Selain Pendidikan, lanjut Tommy profesi pelaut dalam bekerja di atas kapal harus didukung dan dilindungi kenyamanan, keamanan dan keselamatan lingkungan kerjanya, yang harus dimulai dari darat, sebelum Pelaut mulai bekerja di atas kapal yaitu dengan adanya Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) serta perekrutan harus dilakukan oleh agen yang berlisensi sesuai dengan tuntutan Maritime Labour Convention, 2006 yang dikeluarkan oleh International Labour Organization (ILO).
Lebih jauh Tommy mengatakan Pemerintah Indonesia selalu berusaha yang terbaik untuk tenaga kerja pelaut Indonesia, yaitu dengan memberi kepastian hukum, membentuk sistem perlindungan bagi pelaut dan menghormati hak asasi manusia dengan perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan nasional yang sesuai dengan peraturan dan konvensi internasional, yaitu KUHD Buku Kedua, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan ILO Convention No. 185 Concerning Revising the Seafarers’ Identity Documents Convention, 1958 (Konvensi ILO No. 185 Mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention, 2006, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan, PP. Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan sebagaimana telah diubah dengan PP. Nomor 22 Tahun 2011, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 30 Tahun 2008 tentang Dokumen Identitas Pelaut, PM. 70 Tahun 2013 tentang Pendidikan dan Pelatihan, Sertifikasi serta Dinas Jaga Pelaut dan PM. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan penempatan Awak Kapal.
Namun demikian, peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah atau biasa disebut dengan produk hukum heteronom dirasa masih belum cukup untuk pelindungan ketenagakerjaan.
Hukum heteronom harus didukung dengan hukum otonom yang merupakan ketentuan yang dibuat dan disepakati sendiri oleh perusahaan pelayaran atau pemilik/operator kapal (Principals) dengan Pelaut, dan pelayaran atau pemilik/operator kapal dengan asosiasi/organisasi pelaut. (Syam S)