Harga Minyak dan Batubara Anjlok dan Dampak Bagi Indonesia
Minggu, 22 Maret 2020, 12:48 WIBBisnisNews.id -- Kondisi anjloknya harga minyak dan batubara saat ini tidak hanya mengancam perusahaan perusahaan migas dan batubara raksasa, namun semua lembaga pembiayaan dan perbankkan yang menopang mereka. Seperti diketahui, harga minyak mendekati 20 dolar per barel, harga batubara mendekati 30 dolar per ton, tidak satupun perusahaan migas dan batubara yang tidak sekarat.
"Diakui atau tidak, virus corona global adalah bagian yang paling serius dari wabah global termasuk Indonesia. Termasuk di industri dan berlangsung dalam sektor migas dan keuangan," kata peneliti AEPI Salmudddin Daeng di Jakarta.
Di Indonesia, lanjut dia, menjadi lebih berantakan karena bank bank nasional telah memompa uang terlalu banyak dalam sektor migas dan batubara dan tambang pada saat bersamaan. Sementara uang bank bank nasional ini diperoleh dari pinjaman asing.
"Ini persoalan bank nasional baik swasta maupun BUMN akan mengalami pukulan keras dari kredit macet sektor pertambangan dan dampak buruk pada bank yang membiayainya yakni kehilangan kemampuan untuk membayar utang pada bank global," jelas Daeng.
Mengapa pukulan pada migas dan batubara bisa menghantam bank bank global? "Ini semua karena kredit yang dipompa ke dalam sektor tambang tersebut," kata Daeng lagi..
Bayangkan sejak kesepakatan Paris diadopsi 2015, selanjutnya antara tahun 2016-2019, menurut Daeng, bank swasta global sebaliknya telah memompa uang ke dalam sektor minyak dan batubara lebih dari 2,7 triliun dolar AS.
"Melibatkan 35 bank global dan disalurkan ke dalam proyek proyek migas dan batubara di seluruh dunia. Mereka melawan secara terbuka kesepakatan perubahan iklim. Bank dari negara negara ekonomi besar yakni termasuk USA, Jepang dan China terlibat dalam skandal iklim ini," papar Daeng.
Lihat Sebagai Peluang ?
Menurut Daeng, di Indonesia perusahaan minyak dan batubara bisa melihat ini sebagai peluang. Mencari uang dengan menciptakan landing proyek atas dana utang dengan rekayasa proyek proyek fiktif dibidang tambang, emas, logam, minyak batubara, pembangkit, semua dijadikan talangan bagi uang derivatif.
"Demikian kredit perbankkan secara besar besaran menyalurkan uang ke sektor pertambangan migas dan batubara serta pembangkit listrik. Itulah mengapa sektor ini sanggup menjadi bandar dalam pemilu 2019 lalu, bandar bagi pemilu legislatif dan pilpres," kilah Daeng.
Keadaan ini, sebut Daeng, makin melipatgandakan rasio kredit bermasalah sektor pertambangan (non-performing loan/NPL) mencapai 7,8 % pada akhir tahun 2019 lalu. Bagaimana sekarang di tengah situasi harga minyak dan batubara ambruk, sudah pasti makin menderita ?
Kesimpulan KPK mensinyalir pertambangan menjadi modus utama pencairan kredit bank di wilayah wilayah tambang yang masif, menurut Daeng, bisa menjadi modus korupsi sektor keuangan bank, sekarang bisa diusut.
Di internasional, terang Daeng, Bank-bank besar AS: JPMorgan Chase, Wells Fargo, Citi, dan Bank of America, Bank of Japan MUFG dan Bank of China adalah yang paling agresif dalam membiayai energi fosil.
"Sementara di Indonesia yang paling agresif dalam menyalurkan kredit ke sektor migas dan batubara adalah bank bank BUMN, termasuk nyalurkan pinjaman yang diperoleh Bank BUMN dari luar negeri untuk disalurkan pada taipan batubara, minyak," sebut Daeng.
Belum lagi, urai Daeng, kredit yahg disalurkan kepada taipan dan BUMN lain dalam rangka mengambil alih perusahaan tambang asing di Indonesia yang berakhir masa kontraknya. "Termasuk mereka yang langsung Beli lunas," tegas Daeng.(helmi)