Industri Penerbangan Menangis, Harapan Baru Sekedar Nampak, Belum Jadi Fakta
Rabu, 01 Januari 2025, 19:01 WIBBISNISNEWS.id - Nasib industri penerbangan nasional di 2025 ini, nampaknya tidak jauh berbeda dengan kondisi di 2024. Belum ada tanda-tanda menggembirakan, meskipun ada sedikit janji-janji manis yang disampaikan pemerintah melalui sejumlah kebijakan.
Bisa dikatakan, nampaknya mulai ada perhatian serius pemerintah terhadap industri penerbangan, meskipun hal itu belum menjamin, adanya kecerahan sepanjang 2025 ini, karena hal itu baru " nampaknya " dan belum " faktanya," . Jadi, wajar juga kalau ada pelaku industri sektor aviasi ini ketar-ketir.
Padahal, moda transportasi udara berpengaruh besar terhadap pertumbuhan perekonomian nasional, memgingat posisi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan destinasi wisata yang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi .
Asosiasi Maskapai Penerbangan
Internasional (IATA) menyebutkan, industri penerbangan nasional dan sektor-sektor terkait seperti
pariwisata dan perdagangan berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Berdasarkan data IATA, pada 2023 industri ini telah berkobtribusi
62,6 miliar dollar AS atau Rp.1.001,6 trilliun (kurs Rp.16.000,-), setara 4,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jumlah tenaga kerja yang terkait di industri ini totalnya
mencapai 6 juta orang.
Sayangnya, langit industri penerbangan Indonesia selama tahun 2024 bisa dikatakan masih tidak baik-baik saja. Iklim usaha yang diwarnai persaingan bisnis tajam sebelum pandemi Covid-19 dan kemudian dilanjutkan paparan pandemi Covid-19, dampaknya masih terasa sampai tahun 2024
ini.
Menurut catatan INACA, ada beberapa hal yang membuat industri penerbangan nasional masih tidak baik-baik saja selama tahun 2024 yaitu:
1. Biaya penerbangan yang masih tinggi, terutama dipengaruhi oleh naiknya nilai tukar
Dollar AS terhadap Rupiah, di mana pada tahun 2019 kurs rata-rata 1 dollar AS sebesar
Rp.13.901,- sedangkan tahun 2024 sampai dengan bulan Oktober rata-rata sudah
mencapai Rp.15.884,- atau naik 14 persen
2. Naiknya kurs dollar AS ini juga mempengaruhi naiknya harga avtur, harga spareparts,
sewa pesawat dan komponen lainnya yang menggunakan acuan mata uang dollar AS,
sehingga membuat naiknya biaya yang ditanggung maskapai penerbangan.
3. Masih belum direvisinya peraturan terkait Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah
(TBB) dengan mengikuti kenaikan biaya penerbangan dari tahun 2019 ke tahun 2024.
4. Masih adanya bea masuk bagi sebagian besar spareparts pesawat. Terdapat 472 HS Code
spareparts pesawat di mana baru 123 HS Code sudah mendapat bea masuk 0 persen, tetapi
masih ada 349 HS Code atau sekitar 74% dengan jumlah 22.349 part number yang masih
dikenakan bea masuk 2,5 persen hingga 22,5 persen .
5. Adanya backlog pesawat dan spareparts secara global dampak dari pandemi Covid-19
sehingga mempengaruhi jumlah pesawat yang tersedia dan siap untuk terbang
(airwhorthy).
6. Turunnya daya beli masyarakat sehingga berakibat berkurangnya jumlah penumpang
pesawat maskapai berjadwal rute domestik. Pada periode Januari – September 2024,
data sementara jumlah penumpang pesawat maskapai berjadwal rute domestik
berjumlah 44.3 juta penumpang, lebih rendah 10 persen dari periode Januari – September 2023
yang berjumlah 49.2 penumpang.
7. Kondisi keselamatan penerbangan yang sedikit menurun yang dikhawatirkan akibat dari
kondisi finansial maskapai melemah. Menurut data dari Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT), pada Januari – Desember tahun 2023 jumlah kecelakaan sebanyak 9
kali dan kejadian serius sebanyak 13 kali. Sedangkan di bulan Januari – awal bulan
Desember tahun 2024, jumlah kecelakaan sebanyak 9 kali dan kejadian serius sebanyak
15 kali. Mengingat pada tahun 2024 data yang dicatat belum penuh 1 tahun dan jumlah
penerbangan yang lebih sedikit dibanding 2023, maka persentase keselamatan penerbangan 2024 menurun dibanding 2023.
Kendati demikian, INACA juga melihat setitik sinar terang, terutama adanya kebijakan pemerintah pada tahun 2024 yang mempengaruhi industri penerbangan nasional, yaitu:
1. Diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan yaitu Permendag no. 3 tahun 2024 pada
bulan Maret 2024 yang membebaskan industri penerbangan dari kebijakan Larangan dan
Pembatasan (LARTAS) impor spareparts pesawat.
2. Diterbitkannya surat dari Deputi Gubernur BI no. 26/1/DpG-DKSP/Srt/B tentang
Penundaan Implementasi Kewajiban Penggunaan Rupiah bagi Badan Usaha Angkutan
Udara Niaga Tidak Berjadwal yang berlaku dari bulan Juni 2024 sampai dengan bulan Juni
2026.
3. Dibahasnya permasalahan industri penerbangan secara komprehensif oleh pemerintah,
mulai dari bisnis dan operasional penerbangan sampai dengan hal-hal pendukungnya
yang dimulai pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2024.
4. Upaya menggairahkan bisnis penerbangan oleh pemerintah dengan memberikan diskon
biaya kebandarudaraan (PJP4U dan PJP2U) serta pengurangan fuel surcharge yang
dipadukan dengan diskon harga avtur selama periode Natal 2024 dan Tahun Baru 2025
sehingga dapat menurunkan harga tiket pesawat domestik rata-rata sebesar 10 persen.
Mensikapi kondisi industri penerbangan yang telah terjadi selama tahun 2024, INACA sebagai
asosiasi maskapai penerbangan nasional yang beranggotakan maskapai penerbangan berjadwal,
maskapai tidak berjadwal (carter), maskapai penerbangan kargo dan maskapai penerbangan
perintis mengharapkan beberapa hal berikut ini di tahun 2025 dan seterusnya:
1. Peningkatan perhatian dari pemerintah untuk melanjutkan kembali pembahasan
permasalahan industri penerbangan secara komprehensif mulai dari bisnis dan
operasional penerbangan sampai dengan hal-hal pendukungnya.
2. Peningkatan perhatian terhadap kondisi finansial maskapai penerbangan terutama
maskapai penerbangan berjadwal dan perintis mengingat maskapai ini sebagai aktor
utama di industri penerbangan yang sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia.
3.Peningkatan perhatian terkait penerbangan perintis untuk masyarakat di pelosok-pelosok
tanah air yang membutuhkannya dengan melakukan perbaikan peraturan dan kebijakan
yang berlaku saat ini.
4. Peningkatan kebijakan yang tegas dari pemerintah terkait posisi bisnis penerbangan
(transportasi udara), apakah termasuk barang mewah atau sebaliknya termasuk barang
kebutuhan pokok transportasi umum bagi masyarakat. Karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap pajak-pajak yang dikenakan dan akhirnya akan dibebankan kepada
masyarakat dalam bentuk harga tiket. Saat ini transportasi udara dikenakan berbagai
pajak dan bea masuk, tidak seperti transportasi umum di darat dan lautan yang
mendapatkan relaksasi pajak dan bea masuk. Padahal transportasi udara sangat
dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang wilayahnya berbentuk kepulauan, baik untuk
melancarkan pergerakan orang maupun barang ke seluruh pelosok tanah air sehingga
mempunyai multiplier effect besar terhadap perekonomian nasional.
5. Peningkatan perhatian yang lebih serius dalam implementasi safety management system
(SMS) dan peningkatan safety culture dalam operasional penerbangan dari semua
stakeholder baik itu regulator (pemerintah), operator penerbangan (maskapai, bandara,
MRO dll), dan masyarakat. Hal tersebut mengingat kondisi keselamatan penerbangan
global dan nasional yang menantang pada akhir-akhir ini dan adanya kekhawatiran
backlog beberapa spareparts penting dari pesawat yang banyak dioperasikan maskapai
penerbangan di tahun 2025 mendatang.
Demikian catatan akhir tahun 2024 dari industri penerbangan nasional yang dapat kami
sampaikan. Kami berharap di tahun 2025 dan seterusnya, industri penerbangan nasional dapat menjadi lebih baik dan sehat sehingga mempunyai multiplier effect yang lebih besar pada
perekonomian dan perikehidupan bangsa Indonesia. ("/syam)