Kecelakaan Transportasi Laut Seperti Arisan, Komisi V DPR RI Desak Tegakan Aturan
Jumat, 06 Januari 2017, 10:54 WIB
Bisnisnews.id-Terkait maraknya kecelakaan lalulintas, darat, laut dan udara di penghujung tahun 2016 dan awal tahun 2017, Komisi V DPR RI mengingatkan regulator dan operator bekerja serius dalam melayani masyarakat. Peraturan yang ada tentang keselamatan wajib dilaksanakan dan jangan hanya dijadikan teori belaka.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Muhidin M.Sahid menegaskan, kasus terbakarnya KM Zahro Expres di perairan Kepulauan Seribu Jakarta Utara adalah bagian dari puncak kesemrawutan transportasi laut. Sebelumnya juga sudah diingatkan, seluruh kapal, apapun jenisnya terutama penumpang dilakukan chek ulang sebelum diizinkan berangkat.
KM. Zahro ini adalah satu dari ribuan kapal sejenis di perairan Indonesia yang bisa saja mengalami hal serupa karena tidak dilakukan pemeriksaan dengan benar sebelum berlayar. Termasuk juga terjadi di banyak penyeberangan, yang dilakukan kapal-kapal jenis ro-ro.
"Kami sudah melakukan komunikasi dengan Menteri Perhubungan, agar seluruh petugas di lini depan atau lapangan benar-benar melaksanakan tugasnya sesuai Undang-Undang dan peraturan turunannya," tegas Muhidin pada Bisnisnews.id.
Anggota Komisi V DPR RI, dari Fraksi Partai Golkar ini mengaku sangat prihatin maraknya peristiwa kecelakaan belakangan ini. Terutama di transportasi laut, hampir setiap pekan terjadi kecelakaan.
Dia juga mempertanyakan petugas di lapangan seperti melakukan pembiaran kapal-kapal yang tidak dilengkapi alat keselamatan dan perangkat lain yang menjadi persyaratan operasional. " Kami sudah katakan kepada Menteri Perhubungan, jangan ada lagi peristwa serupa terjadi," tegasnya.
Sebab, sebelum musibah yang menimpa kapal KM Zahro, telah terjadi sejumlah kecelakaan di laut pada sejumlah daerah. " Tidak perlu kami sebutkan satu per satu, karena jumlahnya cukup banyak, masyarakat juga tahu itu," jelasnya.
Dia mencontohkan KM Zahro Express, secara kapasitas masih memungkinkan untuk menampung penumpang. Masalahnya, petugas tidak melakukan pemeriksaan lebih dahulu soal kelengkapan keselamatan berupa jaket pelampung (life jacket), sekoci dan perangkat lainnya untuk keselamatan para penumpang di dalamnya, termasuk daftar penumpang.
"Yang wajib dilakukan, selain diperiksa, ABK juga wajib menyampaikan prosedur keselaatan kepada penumpang di dalam kapal, menunjukan jaket pelampung ada dimana, jumlahnya berapa dan sekoci serta cara menggunakannya, bila ada kecelakaan di dalam kapal," tegasnya.
Khusus KM Zahro Expres, kata Mudihin tidak dilakukan sesuai peraturan yang berlaku. " Tapi Menteri Perhubungan telah melaporkan, mencopot Kepala Syahbandar Pelabuhan Muara Angke, Deddy Junaedi, yang dinilai lalai dan menyebabkan banyak korban. kami dengar sudah ditunjuk pelaksana tugas di lapangan," jelas Muhidin.
Banyaknya pelanggaran juga terjadi terhadap kapal-kapal di sejumlah pulau di Indonesia, baik yang ditangani langsung Kementerian Perhubungan maupun Dinas perhubungan Provinsi. Termasuk juga kapal penyeberangan, yang dilayani jenis ro-ro.
Sebagian besar kapal jenis ro-ro di sejumlah lintasan penyeberangan tidak melakukan prosedur secara benar. Diantaranya, banyak kapal ro-ro tidak melakukan lasing atau mengikat kendaraan rida empat atau lebih dan roda dua yang masuk dek kapal.
Ini sangat rawan, sebab, bisa saja saat kapal dihantam ombak, dan bergerak, kendaraan yang ada di dalamnya ikur bergerak, sehingga terjadi ketidakseimbangan pada kapal. " kami daat laporn itu dari masyarakat, ini kan berbahaya," jelasnya.
INSTRRUKSI DIRJEN
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Antonius Tonny Budiono, terbitkan Instruksi Nomor UM.008/I/II/DJPL-17, pada 3 Januari 2017 tentang Kewajiban Nakhoda dalam Penanganan Penumpang Selama Pelayaran.
Hal ini merupakan upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan keselamatan pelayaran serta memperkuat aturan-aturan keselamatan khususnya yang mengatur tugas dan tanggungjawab serta kewajiban nakhoda yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan.
Instruksi ini bertujuan untuk menegaskan kembali aturan-aturan tentang keselamatan pelayaran yang sudah ada dan untuk mengingatkan UPT Ditjen Hubla agar melaksanakan pengawasan terhadap implementasi dari aturan-aturan tersebut. Selain itu, instruksi ini juga untuk mengingatkan kembali kepada para operator dan pengguna jasa agar menaati dan mengimplementasikan aturan-aturan tentang keselamatan pelayaran.
Dalam Instruksi tersebut, Dirjen Hubla menginstruksikan kepada seluruh Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk memerintahkan kepada seluruh Pemilik Perusahaan Pelayaran, Keagenan dan Nakhoda agar sebelum melakukan pelayaran harus melaksanakan kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam UU no. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan instruksi ini juga memastikan Nakhoda agar melakukan penyesuaian antara jumlah penumpang dalam manifest dengan jumlah penumpang yang ada di atas kapal yang memiliki tiket.
Awak kapal wajib melakukan pengenalan penggunaan baju pelampung, menunjukan jalur keluar darurat(emergency escape) dan tempat berkumpul(muster station) serta perintah penyelamatan diri kepada penumpang kapal. Awak kapal juga diwajibkan menunjukkan tempat-tempat penyimpanan alat keselamatan kapal dan pengoperasiaanya.
Khusus kapal tradisional, penumpang wajib memakai jaket penolong (life jacket) khusus kapal penumpang yang melayani Kepulauan Seribu, Danau Toba, Lombok, Padang Bai, Tarakan, Kepulauany Riau, Palembang, Ternate, Manado dan atau daerah yang menggunakan kapal penumpang tradisional.
Dirjen Tonny menyebutkan bahwa sebenarnya sudah sejak lama Ditjen Hubla telah memberlakukan penggunaan life jacket selama berlayar sesuai dengan telegram Dirjen Hubla Nomor 167/PHBL2011 tanggal 21 Oktober 2011 yang menyatakan bahwa untuk kapal penumpang tradisional, setiap pelayar (termasuk penumpang) wajib menggunakan baju penolong (life jacket) selama pelayaran. (Syam Sk)