Kendalikan Konsumsi Rokok, YLKI: Naikkan Harganya Jadi Rp70.000 Sebungkus
Jumat, 20 September 2019, 06:28 WIBBisnisNews.id -- YLKI mendesak Pemerintah untuk segera mensahkan kenaikan cukai rokok secara definitif dengan sebuah PMK. YLKI juga mendesak agar formulasi kenaikan cukai rokok itu lebih fair. "Terapkan kenaikan cukai rokok 23 persen pada jenis rokok kategori SKM 1, bukan malah sebaliknya: kenaikan pada kategori SKM 1 prosentasenya sangat kecil," kata Ketua YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Jumat (20/9/2019).
"Jika memang pemerintah menaikkan cukai dan harga rokok untuk pengendalian konsumsi maka harga rokok minimal Rp 70.000/bungkus," kata Tulus lagi.
Dikatakan, kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen, sebelum disahkan dengan PMK, dan dengan formulasi yang fair; maka belum layak diberikan apresiasi. Masih kentara pemerintah lebih dominan memerhatikan kepentingan industri rokok untuk menaikkan tarif cukai, bukan aspek pengendalian konsumsi.
Bahkan, jelas Tulus, belum pro pada kepentingan petani tembakau lokal, manakala pemerintah tak bernyali untuk memberikan kenaikan prosentase yang tinggi pada jenis rokok yang menggunakan daun tembakau impor.
YLKI, menurut Tulus, juga meminta Kemenkeu melakukan simplifikasi sistem cukai rokok. Cukai mau naik setinggi apapun tapi kalau modelnya masih multi layer seperti saat ini maka kurang efektif. Justru akan memicu munculnya produk/merek-merek (rokok) baru hanya untuk menyiasati kenaikan cukai dimaksud.
Prinsipnya YLKI mendukung rencana Pemerintah yang akan menaikkan cukai rokok pada 2020, sebesar 23 persen dan kenaikan harga retail rokok sebesar 35 persen. "Kenaikan cukai rokok memang sudah harus dilakukan, apalagi pada 2018-2019 tidak ada kenaikan cukai rokok," aku Tulus.
Namun, menurut YLKI, kebijakan tersebut masih sebatas gimmic policy, mengingat belum ada aspek legalitasnya. Baru sebatas komitmen politik saja. :Sampai detik ini belum dituangkan pada sebuah PMK (Peraturan Menteri Keuangan) sebagai dasar legalitas kenaikan cukai dimaksud," kritik Tulus.
Prosentase 23 persen itu, papar dia, sebenarnya kenaikan yang kecil, bahkan _enteng-entengan_ saja, karena dua tahun sebelumnya tak ada kenaikan cukai rokok. Kenaikan sebesar 23 persen adalah kenaikan rapelan, jadi terasa besar.
Selain itu, sebut Tulus, kenaikan 23 persen adalah kenaikan rata rata, bukan kenaikan setiap kategori/jenis rokok. Jika kenaikan 23 persen itu dikenakan pada kategori/jenis rokok yang tidak populer/tidak laku di pasaran, ya tidak ada gunanya kenaikan 23 persen tersebut.
Sebaliknya, menurut YLKI, jika kenaikan pada merek rokok ternama, seperti pada kategori SKM 1 (Sigaret Kretek Mesin) prosentasenya kecil, maka dampak terhadap pengendalian konsumsi di level konsumen nyaris tidak ada.
:Apalagi, kenaikan harga di level retail yang mencapai 35 persen, itu juga kenaikan rata rata. Jika dirupiahkan kenaikan harga di ritail hanya berkisar Rp 10-35/batang. Nyaris tak ada artinya. Dan artinya harga rokok masih sangat terjangkau bagi konsumen," tegas Tulus.(helmi)