Kontrak Pengalihan Konsesi Ke Hutchison Dinilai Cacat Hukum
Jumat, 24 Juni 2016, 10:52 WIBBisnisnews---Perpanjangan kontrak antara manajemen PT Pelindo II dengan Hutchison untuk pengelolaan JICT di Priok pada 5 Agustus 2014 dinilai menyimpang dari aturan yang ada dan batal demi hukum, karena peralihan konsesi dalam kontrak itu belum mendapatan izin pemerintah.
Menteri Perhubungan Ignatius Jonan mengakui, tidak ada alasan hukumnya, karena dilakukan sebelah pihak oleh PT. Pelindo II. Sesuai Undang-undang 17/2008 tentang pelayaran, harusnya pengalihan konsesi ke Hutchison, terlebih dahu minta izn kepada pemerintah.
"Saya sudah baca kontraknya. Memang ada peralihan konsesi ke Hutchison oleh Pelindo II namun tanpa izin pemerintah, itu artinya perjanjian itu melanggar," kata Jonan usai rapat Panitia Khusus (Pansus) Angket terkait soal Pelindo II di gedung Nusantara I DPR, Kamis (23/6)
Menyikapi sikap pemerintah itu, Direktur Utama PT.Pelindo II Elvyn G Masassya menyatakan bahwa dirinya hanya menjalankan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang keluar pada 1 Desember 2015.
Orang nomor satu di PT Pelindo II itu mengaku tetap menghormati rekomendasi BPK, kendati nantinya harus ada kajian mendalamdari kalangan profesional." Saat ini saya belum bisa katakan apakah perjanjian ini menguntungkan Pelindo II, atau sebaliknya" kata Elvyn.
Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka dalam rapat itu sempat mempertanyakan dasar BPK melakukan rapat tindaklanjut perpanjangan JICT-Koja pada 7 April 2016."Kami akan melaporkan anggota VII Achsanul Qosasi kepada komite etik terkait inisiatifnya yang mengatakan perjanjian perpanjangan JICT-Koja sah secara hukum. Sementara audit investigasi masih berjalan dan belum ada izin penetapan syarat-syarat dari Menteri BUMN," ungkap Rieke.
Dalam sidang Pansus, Rieke menyentil kehadiran Komisaris Pelindo II Chris Kuntadi dalam rapat BPK 7 April 2016. "Apakah wajar saudara komisaris hadir dalam urusan operasional perusahaan? Selain itu kami punya data saudara juga masih aktif di BPK dan saudara ikut tandatangan notulensi rapat yang menyebabkan JICT harus bayar uang sewa 42 juta dollar AS. Ini konflik kepentingannya besar sekali," kata Rieke.
Anggota Pansus dari Fraksi Demokrat, Wahyu Sanjaya menyoroti keputusan Elvyn untuk menjalankan rekomendasi audit awal BPK. "Saya sampaikan bahwa yang Pak Elvyn jalankan salah. Harusnya keputusan BPK ditetapkan oleh badan dan tidak ada dualisme keputusan. Ini kan masih ada audit investigasi lanjutan," terang Wahyu.
Anggota Pansus lainnya Nasril Bahar dari fraksi PAN menegaskan bahwa perpanjangan JICT adalah pembelian saham. "Jelas dalam perjanjiannya tertulis penjualan saham bukan perpanjangan kontrak. Bahasa kerjasama operasi hanya untuk akali administrasi saja. Kita sudah catat ini," kata Nasril.
Lebih jauh Rieke mengingatkan Elvyn soal banyaknya pelanggaran dalam perpanjangan kontrak JICT-Koja. "Mari kita bicara data Pak Elvyn supaya tidak asal ikut rekomendasi BPK. Perpanjangan JICT-Koja tidak ada alas hukum. Selanjutnya dalam data kami, nilai upfront fee JICT dimark down oleh Deutsche Bank selaku konsultan keuangan Pelindo II," kata Rieke.
Terkait kerugian negara, ada potensi pendapatan yang hilang senilai Rp 36 trilyun jika kontrak diperpanjang. "Pasar di Priok captive Pak. Teknologi dan SDM kita punya. Lantas apa lagi yang harus dikerjasamakan?" jelas Rieke.
Soal ancaman arbitrase yang akan dilakukan pihak Hutchison, Rieke mengatakan hal tersebut sudah salah kaprah. "Pak Elvyn jangan takut. Kita akan jaga bersama. Kita punya banyak bukti pelanggaran Hutchison termasuk komunikasi email dan sms mereka. Kami minta semua proses pembayaran dihold dan proses diulang dengan skema tender,"jelasnya,.