Menelisik Grey Area di Tengah Laut, INSA Usulkan Kembali ke NCVS
Jumat, 28 September 2018, 11:34 WIBBisnisnews.id – Tumpang tindihnya peraturan berujung terciptanya grey area atau wilayah
abu-abu di tengah laut, dampaknya bukan
saja benturan kepentingan yang
menimbulkan membengkaknya biaya logistik tapi akan menyurutkan daya saing
pelayaran merah putih di kancah intenasional. Sebut saja seperti peraturan
tentang pengaturan lambung kapal, pengawakan , salvage dan air ballast serta
banyak lagi peraturan yang saling berbenturan dengan instansi terkait.
Beragam peraturan itu bagi perusahaan pelayaran seperti ranjau di tengah laut , menimbulkan interpretasi berbeda-beda oleh pelaksana di lapangan. Sekretaris -1 Dewan Pimpinan Pusat Indonesian National Shipowners' Association (DPP INSA) Jalan Tanah Abang III/10 Jakarta Pusat, Capt.Otto K.M Caloh mengatakan, seluruh ketentuan tentang operasional kapal niaga berbendera merah putih termasuk keselamatan pelayaran dan perlindungan wilayah perairan sudah diatur secara menyeluruh di Keputusan menteri Nomor KM 65 Tahun 2009 tentang Standar Kapal Non Konvensi (Non Convention Vessel Standard) Berbendera Indonesia atau NCVS.
Sebagai negara maritim, dimana kapal menjadi jembatan penghubung antar pulau di Indonesia dan kelancaran distribusi logistik, hanya membutuhkan dua peraturan sebagai acuan. Yaitu, konvensi International maritime Organization (IMO) untuk kapal – kapal di atas 500 GT yang berlayar ke luar negeri (perairan internasional/Ocean Going),dan non konvensi seperti diamanatkan dalam NCVS, yang mengatur kapal-kapal di bawah 500 GT atau lebih yang hanya berlayar di dalam negeri.
Baca Juga
Pemerintah tidak perlu lagi menambah mumet perusahaan pelayaran nasional dengan menerbitkan beragam peraturan secara parsial, sebab Indonesia telah memiliki peraturan baku yang diakui IMO untuk kapal-kapal non konvensi yaitu NCVS.
“Sayangnya, peraturan yang cukup tebal itu kini hanya menjadi hiasan rak buku, tidak digunakan secara utuh, malah pemerintah menerbitkan banyak peraturan melalui kementerian teknis. Sebut saja seperti peraturan tentang lambung kapal, pengawakan , salvage sampai persoalan perlengkapan air ballast yang alatnya selangit. Masing-masing dibuat peraturan sendiri-sendiri melalui keputusan menteri,” tutur Otto.
Operator pelayaran sekarang ini hanya membutuhkan kepastian hukum berusaha di lingkungan maritim. Jangan ada lagi peraturan-peraturan yang memberatkan pelaku usaha, sehingga kegiatan pelayaran yang mengawal terciptanya NAWACITA Presiden Joko Widodo menuju Indonesia sebagai poros maritime dunia menjadi terbelenggu.
Dijelaskan, kalau NCVS masih ada kelemahan, bisa direvisi atau diperbaiki dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait. Sebut saja seperti INSA, Iperindo, BKI dan para ahli hukum kemaritiman yang jumlahnya cukup banyak. Masing-masing stakeholder itu memiliki keahlian, dan seluruh masukan dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan yang akan melengkapi NCVS sebagai kitab sucinya pelayaran nasional.
Indonesia negara berdaulat, menentukan aturan didalam wilayahnya sendiri, bukan melulu harus mengikuti keinginan negara-negara di Eropa, yang iklim dan kondisi perairannya bebeda dengan Indonesia (tropis). “Artinya, serahkan kebebasan itu juga kepada pemilik kapal. Mau berlayar di dalam negeri gunakan satu peraturan, yaitu NCVS dan untuk berlayar ke perairan internasional, kapal di atas 500 GT pakai peraturan Konvensi IMO. Dengan demikian, menjadi jelas.
“Sederhana, bagi kami dari pelayaran, pemilik kapal niaga, cuma mau ada kepastian hukum di perairan. Kami sudah banyak beban, tapi dibebani lagi dengan peraturan-peraturan baru, padahal peraturan, yang namanya NCVS yang menurut kami sudah lengkap dan diakui IMO malah tidak digunakan secara maksimal dan kalau mau dibedah jumlahnya banyak,” tutur Otto.
Dalam beleid NCVS jelas diatur, kalau memang ada kekurangan untuk dibenahi terkait kemaritiman, menteri diamanatkan membuat “forum tenaga ahli”. Forum tenaga ahli itu, dibentuk atas usul Dirjen Perhubungan Laut. Selain tenaga ahli libatkan juga assosiasi yang terkait, seperti INSA, BKI, Iperindo dan seterusnya yang masing-masing memiliki peran dan fungsi sesuai bidangnya.
Biaya Tinggi
Di lapangan petugas dari masing-masing instansi membuat interpretasi beragam tentang satu peraturan dengan argumen masing-masing yang bertameng di Udang-undang. “Seperti untuk garis muat ada ketentuan sendiri, untuk pengawakan dibuatkan lagi peraturan, semuanya menjadi banyak, sehingga NCVS yang tebal itu tidak terpakai. Kami pengusaha pelayaran, kalau mau bicara keselamatan pelayaran, acuannya harus jelas. Misalnya untuk kapal-kapal yang tidak menentukan ketentuan konvensi IMO di Indonesia, silahkan berikan kebebasan kepada pemilik kapal menggunakan aturan non konvens. Tinggal dikasih tahu, kalian mau ikut aturan konvensi atau non konvensi,” tuturnya.
Kapal - kapal kecil di bawah 500 GT yang jalannya cuma di dalam, apakah harus ikut aturan konvensi IMO, yang didalamnya mengatur soal cuaca buruk yang tidak terjadi di Indonesia karena Indonesia beriklim tropis. Ini kan sangat memberatkan. Contoh, untuk keadaan cuaca yang paling ekstrem yaitu di daerah winter north atlantic yang ketinggian gelombangnya 8 – 10 meter. Gelombang setinggi itu tidak ditemui di perairan Indonesia. Yang ada 3 sampai 5 meter.Apakah konstruksi kapalnya juga harus sama dengan kapal yang menahan gelombang 8 – 10 meter seperti diatur dalan konvensi IMO ?
“Kalau kita mengacu ke NCVS kan ada penurunan biaya kapal. Misalnya saja dari ketebalan plat, untuk menghadapi ombak 8 – 10 meter, konstruksi kapal di buat sedemikian rupa sesuai ukuran dengan ketebalan kapal misalnya minimum 12 mili meter. Tapi karena kapal hanya berlayar di Indonesia, ketebalan plat kapal tidak harus 12 mili cukup 10 mili. Sudah ada penurunan 2 mili, dan nilainya cukup besar karena ukurannya 2 mili x berat jenis besi 7,85 x panjang x lebar, sudah berapa ton penghematannya ? Ini baru dari segi konsruksi . Dari segi operasional, penghematannya muncul karena konstruksi dan ketebalan yang tidak setebal aturan konvensi. Mau tidak mau kapal bisa memuat lebih banyak dan ongkos angkut menjadi lebih murah,” tutur Otto.
Sebagai negara tropis, perairan Indonesia berbeda, bahkan termasuk soal draft lambung kapal, tidak melulu mengacu pada garis lambung dan banyak kapal kena finalty karena dinilainya kelebihan muat, hanya karena air menyentuh garis lambung, padahal kapal berada di daerah tropis yang jauh lebih aman dan berat jenis airnya beda dengan di Eropa atau negara lainya.
“ Ilustrasi saja, teman-teman KUPP (kantor unit pelaksana pelabuhan) kadang kurang paham, langsung membuat finalti kalau ada kapal bermuatan lebih banyak dengan hanya melihat garis lambung kapal dan mengatakan kapal over draft. Padahal dia lupa, selama berlayar di Indonesia, berlayar di daerah tropis bukan di daerah summer. Daerah tropis berarti marka lambung timbulnya atau arus muatnya disesuaikan dengan daerah tropis, kapal bisa memuat lebih banyak . Ujung-ujungnya kan kalau memahami masalah ini dapat menurunkan biaya logistik karena muatan lebih banyak,” tutur Otto.
Kendala lain yang juga bikin mumet pelayaran ialah, adanya oknum-oknum petuas dari instansi tertentu yang tiba-tiba menjegat kapal merah putih di perjalanan dengan alasan draft kapal melebih dan kapal over capacity. Kata Otto, kalau ditanya, apa kewenangannya mencegat di jalan dan bicara soal draft lambung kapal, dikatakan, untuk keselamatan dan instansi itu punya undang-undang sendiri .
“Mereka bilang itu untuk keselamatan, padahal aturan keselamatan kapal ada ditangan Syahbandar, ini sudah aneh,” jelas Otto.
Selain itu, pelayaran juga mulai tambah mumet dengan PM 29/2014 tentang pencemaran yang akan diberlakukan, menyangkut pencemaran udara. Ini terkait dengan bahan bakar yang dipakai, namun pihak Pertamina belum siap memproduksi bahan bakar dengan kadar sulpur yang rendah, sesuai ketentuan IMO.
Kemudin ada kewajiban memasang kelengkapan air ballas di kapal. Padahal alat itu cukup mahal, harganya per unit di atas Rp 2 miliar kalau dikapal bisa lebih dari satu alat. Alasan pemerintah kewajiban menggunakan perlengkapan air ballast adalah untuk mencegah pencemaran lingkungan maritime. “ Ok pencemaran lingkungan maritim, tapi dimana ? Soal air ballast ini kan maunya negara-negara Eropa, diberlakukanlah peraturan ini untuk mencegah masuknya predator dari negara-negara asing , tapi kapal-kapal yang beroperasi di dalam negeri juga dikenakan, ini kan memberatkan,” kata Otto.
“Ini yang harus kita antisipasi, jangan begitulah. Alat yang mau dipasang sesuai peraturan itu bukannya murah. Jangan juga semua harus menuruti keinginan negara lain, kita punya wilayah kita sendiri,” tambahnya.
INSA, kata Otto terus mendorong agar ada kepastian hukum, pemerintah harus kembali kepada NCVS. Misalnya untuk kapal-kapal yang hanya berlayar di wilayah Indonesia, cukup acuannya NCVS dan kapal yang berlayar ke luar negeri 500 GT ke atas menggunakan konvensi. “Ayo kita benahi laut kita, kita punya peraturan sendiri, kita mampu dan INSA terus mendukung pemerintah untuk keselamatan pelayaran dan keamanan lingkungan maritim. Dengan paraturan hukum yang jelas, daya saing kita menjadi tinggi dan kita bisa menguasai pasar kita sendiri, “ jelasnya.
Belum lagi ketentuan yang terkandung dalam PM 71 tentang Salvage atau pekerjaan bawah air, pelayaran juga kena, kalau kapalnya mengalami kecelakaan dan tenggelam. Peraturan itu mengatakan, kapal-kapal dengan ukuran 35 GT ke atas, bila teggelam di perairan kurang dari 100 meter harus diangkat. “Masuk akal nggak, masalahnya kalau tenggelam di laut Jawa yang kita tahu, daerah barat kedalaman airnya tidak ada yang melebihi 100 meter lebih, Indonesia tengah dari Makassar ke timur, memang lautnya dalam di atas 100 meter . Harusnya kapal tidak perlu lagi diangkat. Biaya pengangkatannya juga mahal, dan lagi-lagi menjadi beban pelayaran,” kata Otto.
Kalau alasannya mengganggu pelayaran, kapal 35 GT paling cuma 100 ton,. Biaya pengangkatan tanggungjawab perusahaan pelayaran walaupun diasuransikan. Kalau pihak asuransi mengatakan tidak sanggup dengan kedalam air 100 meter akan menjadi beban pelayaran. “Peraturan ini harusnya ditinjau ulang,” usulnya.
Kasus ini pernah menimpa kapal merah putih milik salah satu perusahaan di Laut Jawa dengan kedalam air 75 meter padahal kapal kecil yang ketinggiannya tidak megganggu alur pelayaran. Karena kapal yang paling besar saja draftnya cuma 22 meter. Dimana mengganggunya , padahal biaya mengangkat kapal cukup mahal . Dari kasus ini juga membuka peluang terjadinya negosiasi.
Konvensi internasional hanya mengatakan, kapal yang tenggelam harus mempertimbangkan keselamatan pelayaran, menghindari pencemaran lingkungan maritime. Limbah kapal, seperti sisa minyak, bisa disedot dan kapal tidak harus diangkat. “ Setuju kita, kalau ada kapal yang tenggelam, bisa nggak kita amankan limbahnya, minyak yang ada dalam kapal atau tangki kapal. Minyaknya bisa diambil atau disedot meskipun sudah di dasar. Untuk pencemaran ok, kita setuju. Untuk keselamata pelayaran lebih setuju lagi,” jelas Otto. (Syam S)