Mulai Agustus, Kapal Yang Tidak Melengkapi AIS Bakal Digrounded
Senin, 15 Juli 2019, 17:01 WIBBisnisnews.id - Kapal niaga dan angkutan penumpang yang tidak melengkapi dan mengaktifkan perangkat lunak jaringan komunikasi, berupa Automatic Identification System (AIS) bakal kena sanksi grounded.
Pemerintah masih memberikan kelonggaran bagi perusahaan pelayaran untuk melengkapi perangkat tersebut paling lambat Agustus 2019 sesuai peraturan Menteri Perhubungan PM Nomor 7 Tahun 2019.
Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut Basar Antonius memgingatkan agar peraturan tersebut dipenuhi. Revulasi ini berlaku untuk seluruh kapal yang mintas di perairan Indonesia termasuk kapal asing.
“Tipe AIS sendiri terdiri dari dua kelas, yakni AIS Kelas A dan AIS Kelas B,” ungkap Basar pada sosialisai PM 7/2019 dalam pernyataannya yang diterima redaksi Bisnisnews di Jakarta Senin (15/7/2019).
AIS Kelas A, jelas Basar wajib dipasang dan diaktifkan pada Kapal Berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia. Sedangkan AIS Kelas B juga wajib dipasang dan diaktifkan pada kapal-kapal berbendera Indonesia dengan ketentuan antara lain, Kapal Penumpang dan Kapal Barang Non Konvensi berukuran paling rendah GT 35, serta Kapal yang berlayar antar lintas negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
“Selain itu, yang wajib memasang dan mengaktifkan AIS Kelas B adalah Kapal Penangkap Ikan yang berukuran paling rendah GT 60,” ujar Basar.
Nakhoda juga wajib mengaktifkan dan memberikan informasi yang benar pada AIS, seperti misalnya Informasi terkait data statik dan data dinamik kapal untuk AIS Kelas A.
“Sedangkan AIS Kelas B, informasi yang wajib diberikan terdiri dari nama dan jenis kapal, kebangsaan kapal, MMSI, titik koordinat kapal, dan kecepatan serta haluan kapal,” jelasnya.
Basar mengungkapkan, pengawasan dan pemantauan terhadap implementasi Peraturan Menteri ini akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalaui shore base station, dalam hal ini adalah Stasiun Radio Pantai (SROP) dan Stasiun Vessel Traffic Services (VTS) milik Ditjen Perhubungan Laut.
“Pengawasan dan pemantauan akan kita lakukan secara langsung (terrestrial) maupun melalui satellite guna meningkatkan keselamatan, keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim,” tuturnya.
Selain itu, Ditjen Perhubungan laut juga aka mensosialisasikan tentang rencana implementasi Bagan Pemisahan Alur Laut atau Traffic Separation Scheme (TSS) di alur laut kepulauan Indonesia, yaitu di Selat Sunda dan Selat Lombok.
Penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok ini, menurut Basar, merupakan buah dari kerja keras Indonesia selama tiga tahun lamanya melalui tahapan-tahapan yang tidak mudah dan menyita waktu dan perhatian hingga akhirnya dapat diadopsi pada Sidang International Maritime Organization (IMO) Maritime Safety Committee (MSC) ke-101 pada bulan Juni yang lalu.
Penetapan TSS di Selat Sunda dan Lombok pada Sidang IMO ini menunjukkan peran aktif Indonesia dalam bidang Keselamatan dan Keamanan Pelayaran Internasional, serta dapat memperkuat jati diri Indonesia sebagai poros maritim dunia,” kata Basar.
Setelah penetapan ini, Pemerintah Indonesia masih memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain melakukan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang keselamatan. (Syam S)