Obesitas Anak, Bahaya Laten di Indonesia
Selasa, 01 Oktober 2019, 07:26 WIBBisnisNews.id -- Terkait tumbuh kembang anak, Indonesia adalah negeri paradoks bahkan ironis, manakala sebagian anak mengalami malnutrisi/gizi buruk, sebagian lagi mengalami kegemukan/ overweight. Dan tragisnya sebagian lagi mengalami obesitas, kegemukan yang amat ekstrim. Dan sebagian yang lain mengalami stunting, anak dengan tubuh pendek, kuntet.
Meninggalnya Satya Putra, seorang bocah di Karawang, usia 7 (tujuh) tahun dan dengan berat badan 110 kg; adalah bukti nyata paradoks tersebut. Meninggalnya Satya, tidak bisa dilihat secara kasuistik, tetapi ini lonceng yang amat keras.
"Ada sesuatu yang amat membahayakan terkait fenomena kegemukan dan atau obesitas pada anak, dengan rentang usia 5-12 tahun," kata Ketua YLKI Tulus Abadi di Jakarta.
Berdasar Riskesdas 2018, jelas Tulus, prevalensi anak Indonesia yang mengalami obesitas sebanyak 18,8 persen, dengan sebaran 9,4 persen laki laki dan 6,6 persen perempuan; plus, 9,1 persen di perkotaan dan 7,1 persen diperdesaan. "Menurut data WHO, prevalensi obesitas anak di Indonesia adalah tertinggi di ASEAN, yakni 12 persen," papar Tulus.
Oleh karenanya, menurut Tulus, atas meninggalnya Satya Putra, harus menjadi catatan serius bagi pemerintah, masyarakat dan stakeholder lain untuk secara bersama sama memerangi fenomena obesitas pada anak.
YLKI mengusulkan harus ada langkah radikal untuk hal tersebut, misalnya. "Kemenkes dan Badan POM harus berani menurunkan makanan/minuman instan yang sangat tinggi kandungan gula, garam dan lemak (GGL). Sebab jenis makanan/minuman jenis inilah yang sangat digandrungi anak anak usia dini," terang Tulus.
Sementara, di pasaran sangat marak jenis makanan/minuman yang sangat tinggi mengandung GGL. Apalagi dengan pemasaran/iklan yang sangat masif. YLKI juga menyoal Kemenkes/ Badan POM yang sampai saat ini tidak berani mengimplementasikan Permenkes No. 30/2013, tentang kewajiban pencantuman informasi GLL, yang sampai detik ini belum diterapkan.
"Pemerintah jangan hanya mementingkan sisi industri, tetapi menggadaikan masa depan anak dan remaja Indonesia," kilah Tulus.
Selanjutnya, menurut YLKI, Kemendiknas dan pihak sekolah harus terlibat aktif dalam upaya pengendalian kegemukan dan obesitas pada anak usia sekolah. Sebagai contoh, di Singapura, jika anak SD mengalami kegemukan maka anak tersebut tidak bisa naik kelas.
"Hal seperti ini bisa diterapkan di lingkungan sekolah di Indonesia. Atau setidaknya pihak sekolah punya program khusus untuk anak anak didik yang punya masalah kegemukan, misalnya melibatkan puskesmas, dan menyediakan kantin sekolah yang menyediakan makanan sehat, bukan jenis junk food," urai Tulus.
Jika hal ini tidak menjadi perhatian serius dan kebijakan radikal, sebut YLKI, maka klaim munculnya generasi emas hanyalah mimpi di siang bolong. Bagaimana mau mencapai generasi emas, jika yang muncul adalah generasi sakit, akibat kegemukan, obesitas dan hobby merokok.
Ingat, perokok perokok pemula di kalangan anak dan remaja di Indonesia prevalensinya tertinggi dan tercepat di dunia, yakni 19 persen. Yang terjadi malah sebaliknya, dengan fenomena kegemukan dan obesitas maka ancaman terhadap penyakit generatif seperti diabetes melitus akan makin besar.
"Terbukti dalam hasil Riskesdas 2018, prevalensi obesitas meningkat menjadi 8,5 persen dari semula 6,9 persen (Riskesdas 2013). Fenomena kegemukan dan obesitas adalah ancaman serius bagi keberhasilan program JKN kedepannya," tegas Tulus Abadi.(helmi)