Pelaku Usaha Pelayaran Usul, Sanksi AIS Dilakukan Bertahap
Selasa, 06 Agustus 2019, 15:47 WIBBisnisnews.id - Pelaku usaha pelayaran sarankan, kewajiban menerapkan dan mengaktifkan Automatic Identification System (AIS) terhadap seluruh kapal dilakukan secara bijak karena berdampak terhadap biaya logistik nasional.
Terutama soal sanksi administratif seperti yang tertuang dalam peraturan Menteri Perhubungan PM 7/2019 terkait penerapan AIS, yang bakal menghambat distribusi barang dari dan ke pelabuhan.
Sanksi yang sangat merugikan itu diantaranya pencabutan sertifikat pengukuhan nakhoda dan penundaan SPB hanya karena tidak mengaktifkan AIS.
Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Pusat Indonesian National Shipowners Association (DPP INSA) Budi Halim menekankan, penerapan PM 7/2019 dilakuakan secara bijak dan bertahap karena bila langsung diterapkan akan sangat merugikan para pelaut, terutama nakhoda dan operator kapal.
Padahal AIS bisa saja tidak aktif karena berbagai faktor. Dantaranya, kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya pihak nakhoda.
"Kami mendukung PM 7/2019 asal dilakukan secara bijak. Jangan sampai peraturan itu merugikan banyak pihak, yang berdampak kepada biaya tinggi ekonomi," kata Budi Halim dalam diskusi tentang penerapan PM 7/2019, Selasa (6/8/2019) di Jakarta.
Ditektur KPLP Ditjen Perhubungan Laut, Ahmad dalam diskusi itu menyambut baik usulan para pelaku usaha pelayaran terkait penerapan PM 7/2019 secara bertahap. Dia juga memahami kekhawatiran sejumlah pihak, terhadap tingginya biaya logistik akibat penerapan sanksi penuh.
Namun kata Ahmad, seluruh masukan akan menjadi pertimbangan strategis bagi regulator dalam menerapkan PM 7/2019 pada 20 Agustus 2019 ini.
"Terimakasih seluruh usulan dari pelaku usaha pelayaran anggota INSA. Kami juga tidak ingin peraturan itu mengganggu distribusi barang atau logistik nasional," tuturnya.
Terkait sanksi pecabutan sertifikat nakhoda yang tidak menghidupkan AIS, menurut Direktur Kenavigasian
Ditjen Perhubungan Laut Basar Antonius yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi itu , menekankan agar para pelaku usaha pelayaran tidak terlalu khawatir.
Implementasinya, kata Anton, ada tahapan yang harus diikuti para petugas di lapanga. "Nakhoda kan bisa buat laporan atau catatan, misalnya kenapa AIS itu tidak aktif, selain itu juga ada prosedur yang harus dijalankan," tuturnya.
Antonius dalam kesempatan yang sama menambahkan, sejauh ini pihaknya sudah menggencarkan sosialisasi. Artinya, kebijakan yang akan berlaku idealnya sudah dipahami publik, terutama stakeholder yang berkaitan langsung dengan regulasi ini.
"Sudah banyak yang kita lalukan terkait sosialisasi. Kami selipkan informasi ke stakeholder terkait dengan diadopsinya proposal pada Selat Sunda dan Selat Lombok pada Januari dan Juni 2019," tandasnya.
Berkaitan dengan keamanan dan keselamatan, dia juga memperkuat stasiun VTS. Keberadaan VTS yang terintegrasi sangat dibutuhkan untuk memonitor lalu lintas pelayaran dan alur lalu lintas pelayaran serta mendorong efisiensi bernavigasi sehingga dapat menurunkan resiko kecelakaan kapal dan mampu memberikan rasa aman bagi pengguna jasa pelayaran.
Pemberian layanan jasa kenavigasian VTS akan dilakukan penarikan jasa PNBP sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan.
Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Agus H. Purnomo saat membuka diskusi menjelaskan, pemerintah ingin ada penegakan hukum yang jelas mengenai keberadaan kapal yang berlayar di wilayah maritim RI.
"Ada law enforcement, tak bisa semau-maunya kapal ke mana saja tak jelas. Kita harus bisa monitor seluruh kapal, bawanya apa saja. Memang perlu sosialisasi lebih, saya sering ditelepon Basarnas ada kapal tenggelam, kita nggak tahu apa, ternyata kapal ikan. Jadi memang kita belum bisa lacak semua," ungkapnya. (Syam S)