Pencopotan Direksi dan Komisaris BUMN Oleh Menteri Erick Thohir Diduga Langgar UU
Jumat, 10 Januari 2020, 13:10 WIBBisnisNews.id -- Keputusan pencopotan dan pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMN yang telah diambil Menteri BUMN Erick Tohir hampir 3 (tiga) bulan menjabat sebagai Menteri BUMN saat dilantik dan diambil sumpah jabatannya oleh Presiden Jokowi tanggal 23 Oktober 2019, diduga banyak melanggar dan menyalahi UU yang berlaku.
"Pencopotan dan pengangkatan Direksi dan Komisaris yang telah dilakukan oleh Erick Tohir selaku Menteri BUMN, telah tak mengindahkan perintah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terutama menyangkut soal mekanisme seleksi pejabat BUMN yang terdapat pada Pasal 14-33," kata ekonom konstitusi Defiyan Cori di Jakarta.
Menteri BUMN Erick Tohir, lanjut Defiyan, juga telah mengabaikan, bahwasannya penempatan calon pejabat pada kedua posisi itu (Direksi dan Komisaris BUMN) tersebut dilarang memangku jabatan rangkap, baik di dalam maupun di luar BUMN bersangkutan.
"Masalah (Direksi BUMN ada pada Pasal 25 dan Komisaris terdapat di Pasal 33), serta termaktub juga aturan soal integritas pribadi dan tak pernah terkena kasus hukum (kasus Ahok), yang dinyatakan sangat jelas dan tegas," kata dia lagi.
Selanjutnya, keputusan pencopotan beberapa Direksi dan Komisaris BUMN pun dilakukan dengan sesuka hati (like and dislike) dan tak menggunakan etika apalagi indikator evaluasi kinerja dengan variabel manajerial yang jelas dan lengkap, bahkan pejabat yang bersangkutan pun tak menerima pemberitahuan sebelumnnya
"Indikasi pencopotan sesuka hati tanpa mengindahkan perintah UU dan Peraturan Menteri BUMN itu sendiri tampak pada kasus Direktur Utama (Dirut) PT. Garuda Indonesia (Persero) yang memiliki kinerja lebih baik dibanding saat dijabat oleh Dirut sebelumnya, di satu pihak," jelas Defiyan.
Sementara di pihak yang lain, kilah dia, Dirut PT. Jiwasraya (Persero) yang bermasalah pada kinerja korporasinya dan terindikasi adanya kerugian negara berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengungkapkan adanya 16 temuan dalam Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap BUMN Jiwasraya pada 2016 lalu tak langsung dicopot.
Padahal, menurut Defiyan, beberapa temuan BPK itu, terkait kesalahan manajerial dan profesional terkait penempatan saham di PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO), PT Sugih Energy Tbk (SUGI), dan PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) pada 2014 dan 2015, tanpa didukung kajian usulan penempatan saham yang memadai, sehingga kerugian mencapai Rp 6,4 triliun.
Tak hanya itu, menurut Defiyan, Jiwasraya belum dapat membayar klaim polis jatuh tempo sebesar Rp12,4 triliun kepada nasabah pada 2019. Dan, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya yang berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7 tAriliun per Agustus 2019," papar aktivis muda itu.
Selanjutnya, terang Defiyan, Menteri BUMN juga mencopot Gandhi Sriwidodo dari jabatan Direktur Logistik Supply Chain dan Infrastriktur (LSCI) PT. Pertamina (Persero) pada tanggal 26 Desember 2019 selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) melalui salinan Keputusan (SK) Menteri BUMN Nomor SK-336/MBU/12/2019 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Direksi Perseroan (Persero) PT Pertamina, posisi yang dijabatnya sejak 29 Agustus 2018 atau hanya selama satu tahun tiga bulan dan 25 hari tanpa alasan yang jelas.
"Hal ini merupakan pelanggaran UU dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN, khususnya.
atas periodeisasi jabatan Direksi dan Komisaris BUMN selama 5 (lima) tahun dan tanpa indikator evaluasi kinerja manajemen terukur," tegas Defiyan.(nda/helmi)