Petumbuhan Pelayaran Nasional Lamban, Pangsa Pasar Kurang dari 10 Persen
Senin, 17 Desember 2018, 17:07 WIBBisnisnews.id - Pengusaha pelayaran nasional akui, tingkat pertumbuhan industri pelayaran nasional lamban. Komoditi nasional untuk ekspor-impor yang diangkut kapal merah putih masih di bawah 10 persen.
Keberpihakan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan, Permendag No. 94/2018 terkait
kewajiban penggunaan letter of credit (L/C) untuk tiga jenis komoditi, masih belum berjalan alias molor. Seperti komoditi mineral, batubara, minyak dan kelapa sawit.
Baca Juga
Ketua DPP INSA bidang Luar Negeri Suyono mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan molornya penerapan peraturan itu. Belum tersedianya alat angkut (kapal) yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan komoditi tersebut.
Kekhawatiran lainnya ialah, terjadinya penurunan kinerja, berupa penolakan pihak pembeli dari luar negeri terhadap peraturan itu. "Katakan kekhawatiran itu tidak ada, lalu, kapal yang dibutuhhkan tersediakah ?" kata Suyono pada Binisnews.
Setidaknya, ungkap Suyono, pelayaran nasional memiliki 30 unit kapal tanker besar mengangkut komoditi curah sejenis liquid ke Eropa, Amerika Serikat, Rusia, Turki dan Afrika. Negara-negara itu masih sangat memerlukan komoditi dari Indonesia sebagai bahan dasar beragam produk.
Suyono mengatakan, perusahaan pelayaran nasional yang memiliki kapal kapasitas minimal 50 ribu ton per kapal sesuai kebutuhan tiga komoditi itu masih sangat terbatas. "Pelayaran kita memang banyak kapal, tapi kapal kecil dan bagi pedagang, tidak menguntungkan," tutur Suyono.
Lagi-lagi, kembali kepada nilai investasi pengadaan kapal sejenis, dimana pemerintah sepertinya belum berani hadir mematok bunga bank khusus untuk pembangunan kapal. "Harusnya, untuk mmenumbuhkan daya saing pelayaran, bunga bank di dalam negeri disamakan dengan negara luar, seperti Malaysia dan Singapura yang bberani kasih bunga tiga persen, tapi bank-bank kita tidak mau," tuturnya.
Dengan bunga kredit yang rendah atau sama dengan negara-negara tetangga, pelayaran nasional mampu embangun kapal sesuai kebutuhan. Kurang berpihaknya perbankan terhadap industri pelayaran nasional ini erdampak luas, bukan saja terhadap daya saing di pelayaran tapi juga berimbas ke galangan kapal nsional.
"Makanya jangan disalahkan juga ketika pelayaran kita beli kapal dari luar, seperti China dan banknya jga di pakai bank China. Bunga Bank di China lebih murah dan harga kapal juga menjadi murah juga dan bisa nego, karena memang pemerintah di negara itu menjamin," tuturnya.
Perbankan di Indonesia masih sangat hati-hat mengeluarkan kredit modal kerja kepada pelayaran yang akan bangun kapal. Sikap kehati-hatiannya, tutur Suyono sangat tinggi, beda dengan negara luar seperti China.
Terkait angkutan massal seperti pembangunan kapal yang menyedot ribuan tenaga kerja di satu galangan, disubsidi oleh emerintah egara itu besarbesar. "Kita memang ada subsidi, seperti tol laut, tapi kecil sekali, seperti tiupan debu, 200 miliar untuk apa," jelas Suyono.
Jadi, kalau pelayaran nasional mau bersaing, konsepnya harus dirubah. Negara harus menjamin. "Tapi negara kita, pemerintah saat ini juga lagi kesulitan. Kan yang kami harapkan, menurunnya bunga bank dan tidak terlalu banyak kecurigaan terhadap pelayaran yang akan membangun kapal," tegasnya. (Syam S)