Bisnisnews.id - Market cap atau kapitalisasi pasar sekarang ini bukan lagi soal yang besar makan yang kecil, tapi yang cepat akan melibas yang lambat. 

 

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan hal itu di hadapan peserta Internasional Outlook Tourism 2017 di hotel Double Tree Cikini Jakarta Pusat,  Rabu (1/11/2017).

 

Industri pariwisata Indonesia tergolong berpotensi besar namun bisa berada di posisi terkalahkan bila pergerakannya lambat. 

 

Menurutnya, selain promosi dan marketing, revolusi Digital Tourism harus menjadi fokus untuk mendorong industri pariwisata Indonesia sebagai pemenang.

 

"Potensi wisata Indonesia cukup besar, namun lambat, sehingga terancam kena libas. "Tapi itu dulu bukan sekarang," kata Arief. 

 

Dia bahkan mencontohkan bahwa Indonesia ini memiliki 42.000 regulasi, termasuk birokrasi bebas visa yang awalnya hanya dibuka untuk 15 negara, sehingga menyulitkan pasar internasional masuk.

 

Arief juga menyinggung soal pergeseran pola bisnis sekarang ini, bukan hanya berlaku di industri pariwisata tapi pada seluruh kegiatan bisnis. Di antaranya moda transportasi yang menjadi salah satu penopang  pertumbuhan industri pariwisata Indonesia.

 

Mantan Dirut PT Telkom ini mengilustrasikan, dua perusahaan besar seperti Garuda Indonesia dan Blue Bird bila disatukan, nilai perusahaannya (kapitalisasi pasar) kalah dengan Gojek.

 

Kapitalisasi pasar adalah nilai sebuah perusahaan berdasarkan perhitungan harga pasar saham dikalikan dengan jumlah saham yang beredar. Jadi, semakin mahal harga saham suatu perusahaan di pasar dan semakin banyak jumlah sahamnya yang beredar di pasar akan membuat kapitalisasi pasar perusahaan itu semakin besar.

 

Dari data perusahaan transportasi Indonesia di 2016 yang ditunjukkan Arief, market cap Blue Bird sebesar 9,8 trilyun; Garuda Indonesia 12,3 trilyun. Sedangkan Gojek sendiri, yang bahkan tidak memiliki aset ojek, memiliki nilai market 38 trilyun.

 

Perusahaan kecil itu, usianya pun baru seumur jagung memang tidak memiliki banyak aset namun dibutuhkan masyarakat karena pemanfaatan teknologi yang memudahkan masyarakat dan harga terjangkau. 

 

Inilah pergeseran pola yang disebut Arief sebagai sharing economy, bukan kepemilikan ekonomi (owning economy).

 

"Pada akhirnya masyarakat yang akan menjadi juri dalam menilai dan memilih. Sifat dari hukum pada dasarnya memang keberpihakan kepada masyarakat banyak, bukan segelintir," jelasnya. (Syam S)