SPJICT Kecam Balik Direksi JICT Terkait Aksi Demo Hari Ini
Senin, 17 Desember 2018, 23:22 WIBBisnisnews.id - Aksi protes Serikat Pekerja Jakarta International Countainer Terminal (SPJICT), diklaim murni penegakan hukum dan kedaulatan negara, terkait perpanjangan kontrak JICT-Koja dan hasil temuan BPK yang merugikan negara Rp 6 triliun.
Ungkapan itu disampaikan Sekjen SPICT M.Firmansyah, terhadap kecaman keras Wakil Direktur Utama JICT sekaligus perwakilan dari Hutchison Indonesia, Riza Erivan
terhadap aksi demonstrasi anggota SPJICT, Senin (17/12/2018) yang dinilai telah merusak nama baik perusahaan.
Berikut penjelasan SPIJCT;
Pertama, kritik perpanjangan kontrak JICT-Koja murni didasari kepada temuan BPK terkait kerugian negara Rp 6 trilyun dan pelanggaran Undang-Undang* meliputi; UU 17/2008 tentang Pelayaran terkait tidak adanya izin konsesi, PerMen BUMN Per-01/MBU/2011 tentang penerapan GCG, PerMen BUMN No PER-06/MBU/2011 tentang Pendayagunaan Aktiva Tetap karena Hutchison ditunjuk langsung tanpa syarat sah dan Permen BUMN Per-15/MBU/2012 tentang Pengadaan yang Kompetitif, Adil dan Wajar.
Kedua, tidak ada hubungan antara nama baik negara Hong Kong atau program investasi pemerintah dengan pelanggaran Undang-Undang dan kerugian negara oleh Hutchison dalam kasus kontrak JICT-Koja. Kecuali memang Hutchison ingin bermanuver secara hukum dan mencari pembenaran.
Lagipula dengan tegaknya aturan, malah akan memberi kepastian hukum kepada investor dan menghapus area abu-abu yang sering digunakan pemburu rente atas nama investasi.
Ketiga, Hutchison seolah ingin mengaburkan fakta substansi pelanggaran aturan dan kerugian negara kasus kontrak JICT-Koja dengan isu non substansi, yakni pekerja JICT memiliki gaji terbesar se-Indonesia sehingga tidak dibenarkan melakukan aksi protes pengembalian aset nasional pelabuhan.
Urusan gaji pekerja JICT adalah soal hubungan industrial yang berkeadilan antara perusahaan dan pekerja. Hal ini sudah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) JICT.
Jika Riza atau siapapun mempermasalahkan hal non-substantif ini, patut dicurigai jangan-jangan mereka adalah antek-antek Hutchison atau pemburu rente yang tidak ingin kepentingannya diganggu*.
Selain itu manajemen secara sistematis telah melakukan kriminalisasi terhadap lebih dari 10 aktivis SP JICT yang mengkritisi perpanjangan kontrak ilegal JICT-Koja dan melakukan PHK massal 400 pekerja terampil yang berserikat untuk digantikan ratusan pekerja baru yang nihil pengalaman.
Jika dikatakan kontrak baru JICT-Koja menguntungkan semua pihak tentu ini omong kosong besar. Dengan keuntungan JICT-Koja pertahun rata-rata Rp 3-4 trilyun, Hutchison hanya membayar uang muka sekitar Rp 2 triliun dan uang sewa per tahun sebesar Rp 1,2 triliun dibayar oleh JICT dan Koja kepada negara bukan oleh Hutchison. Alangkah untungnya jika kedua pelabuhan ini bisa dikelola negara tanpa harus diperpanjang kepada Hutchison.
Efisiensi besar-besaran akibat beban sewa tersebut terpaksa dilakukan manajemen. Mulai dari pengurangan frekuensi perawatan alat sampai pengurangan hak kesehatan pekerja. Sehingga tidak heran tingkat *kecelakaan kerja JICT mencapai rata-rata ratusan kejadian per bulan di tahun 2018 dan mengakibatkan lima pekerja meninggal. Bahkan tingkat kematian pekerja karena isu kesehatan dalam satu bulan terakhir mencapai tiga orang. Satu diantaranya meninggal karena serangan jantung akibat dugaan pemaksaan dari manajemen agar pekerja tersebut pensiun dini.
Konyolnya, dengan segala kontroversi manajemen, Hutchison terus memaksakan perpanjangan kontrak di JICT dan Koja tanpa alas hukum.
Untuk itu Pemerintah wajib bersikap atas nama hukum Indonesia. Negara tidak boleh kalah dengan manuver dan pelanggaran aturan oleh asing di pelabuhan nasional. Jika Hutchison ingin berinvestasi, silahkan di pelabuhan lain yang belum tergarap, bukan pelabuhan mapan dan untung seperti JICT-Koja yang kontraknya berakhir 2019. (Rayza)