Strategisnya Wilayah Udara Indonesia ...............
Jumat, 24 Maret 2017, 11:32 WIBOleh: Arista Atmadjati,SE.MM.
Penulis adalah analisepenerbangan dan juga CEO Aiac aviation, Praktisi Penerbangan nasional, dan Anggota Asosiasi Profesional Pariwisata Indonesia ASPPI, DPC Jakarta Barat. Mengajar Mata kuliah Aviasi di beberapa Universitas
Bisnisnews.id-Pesawat yang ditumpangi PM Israel Benjamin Netanyahu saat akan berkunjung ke Australia Februari 2017 lalu, harus menghindari wilayah udara Indonesia karena tidak mendapatkan izin dari Indonesia. Selanjutny pesawat memutar dari Singapura ini hingga memakan waktu 2,5 jam lebih lama.
Baca Juga
Menurut situs pelacakan penerbangan FlightAware, penerbangan normal dari Singapura ke Sydney, Australia, memakan waktu 8,5 jam. Namun penerbangan Netanyahu ke Australia memakan waktu 11 jam karena pesawat tidak bisa terbang melintasi wilayah udara Indonesia dan harus memutar.
Akhirnya, pesawat PM Israel tersebut terbang dari Singapura menuju Australia melalui Flight Information Region (FIR): Kuala Lumpur-Kota Kinabalu-Manila-Papua Nugini.
Berikut rute tersebut sebagaiman divisualisasikan Washington Post dengan merujuk pada data dari FlightAware:
Washington Post juga membandingkan perjalanan pesawat PM Netanyahu dengan pesawat Singapore Airline yang sama-sama bertolak dari Singapura menuju Sydney. Disebutkan pesawat Singapore AirLine yang melewati Pulau Jawa (ruter normal) menempuh 4.141 mil dalam waktu tujuh jam 38 menit.
Sedangkan pesawat Netanyahu membukukan catatan perjalanan yang jauh lebih panjang: 5,887 mil. Jarak tersebut ditempuh dalam waktu 11 jam 3 menit.
Dari illustrasi diatas kitamungkin baru mengerti bahwa lintasan udara kita sangatlah vitas dan menentukan karena sebagi bentuk berkah demografi yang kadang sering tidak kita pahami, jika kekuatan wilayah udara kita sebagai salah satu lumbung kekuatan ekonomi negara.
Contoh:salah kaprahnya pengelolaan FIR Flight Information Region di wilayah kepulauan Kepri, Batam Riau Tanjung Pinang yang selama ini dikelola ATC air traffic control negara Singapore di Bandara Changi.
Berapa puluh maskapai dari Indonesia setiap hari yang akan landing di Bandara Changi begitu masuk wilayah udara RI diatas Kepri, dikendalikan ATC Changi. Semua itu ada biaya navigasi yang akan ditagih ke maskapai Indonesia dalam bentuk Singapore dollar yag tidak murah tentunya.
Nah begitu pula dengan wilayah udara Indonesia yang sangat strategis. Di tengah-tengah menghubungkan benua Asia tenggara ada negara Singapore, Malaysia, Thailand, Asia Tengah dan Utara ada negara China, Jepang, Korea,Hongkong, Taiwan yang maskapainya akan terbang ke Australia ke kota kota Darwin, Brisbane, Perth, Adelaide, Melbourne, Sydney dan ke negara Newzealand ke kota Wellinton, Christchurch.
Tentu maskapai ternama seperti Singapore airline, Scoot air LCC Singapore, Jet Blue, Malaysia airlines, Air asia KL, Tahai airways, Cathay Pacific, Air china, China airline, Korean air, Asiana air, JAL, Asiana akan lebih senang melintas melalui wilayah udara Indonesia. Lebih hemat 2,5 jam dibandingkan via Philipina dan Papua Nugini seperti hal halnya pesawat PM Israel Netanyahu bulan Februari 2017 lalu.
Setiap pemborosan avtur 1 jam-nya dengan harga minyak dunia 50 dolar AS per barrel maka 1 pesawat untk 1 jam-nya akan ada pemborosan sekitar Rp5 juta. Bisa dibayangkan bila perjalanan over 2,5 jam maka setiap pesawat akan membuang fuel burnt dengan biaya percuma setara 12,5 juta rupiah untuk 1 flight .
Karea itu maskapai yang berasal dari Asia Utara, bila terbang ke Australia dan New zealand akan lebih suka mengambil rute dari Asia Utara dan Tengah via wilayah udara Indonesia dengan membayar yang dinamakan route charges yang harus dibayar sekali melintas, yang biayanya juga setara Rp12,5 dan menghemat waktu terbang 2,5 jam.
Penghematan waktu setiap penerbangan 2,5 jam itu tentu bagus untuk utilisasi dan rotasi pesawat selanjutnya. Belum lagi ada pendapatan yang lumayan besar yang dibayar sekali di awal bila maskapai melalui wilayah udara kita yang dinamakan Overflying permit fee, tentu dalam bentuk us dollar.
Jadi wilayah udara Indonesia sebenarnya sangat kaya, paling tidak kita bisa mendapatkan tambahan revenue dari maskapai negara asing. Sebuah pendapatan yang dinamakan Overflying Fee sekali bayar waktu maskapai apply melewati wilayah udara RI dan Routes charges yang dibayarkan dan dihitung setiap melintas wilayah udara kita.
Minimal setiap hari ada 60 penerbangan pergi pulang dari Asia Tengah dan Utara ke Australia dan New Zeland, paling tidak PT,Airnav Indonesia bisa meraup 5 triliun rupiah kurs. Pendapatan 5 triliun dari hasil routes charge, itu-pun belum ditambah over flying fee, sebuah angka minimal yang cukup signifikan untuk memperbaiki ATC di wilayah remote Indonesia.
Saya mengusulakn semenjak PT, Airnav harusnya hasil dari pendapatan overflying fee permit dan routes charge bisa dipublsih setiap tahun sebagai bentuk pertanggung jawaban ke publik dan membiasakan budaya open governance, melakukan manajeman modern sehingga publik juga paham dan mengerti kekayaan wilayah udara kita itu untuk digunakan apa nantinya, mengingat kualitas ATC kita banyak dikritisi media barat.
Terakhir situs Bloomberg USA menurunkan artikel begitu bahayanya terbang di wilayah negara kita , mengingat, SDM navigasi di remote minim, infrastruktur ketinggalan, beban kerja SDM navigasi tidak ideal, faktor komunikasi bahasa inggris staf ATC dan lainnya. (Syam S*)